Bukan Cuma Soal Paha, Inilah Kesalahan Tim Kreatif Puteri Indonesia Saat Tampilkan Tema Ratu Sinuhun

Dinilai, penampilan Caca telah melanggar nilai-nilai budaya, baik dari dari sisi estetika, maupun etika yang ada pada karakter Ratu Sinuhun.

Editor: M. Syah Beni
ISTIMEWA
Finalis Puteri Indonesia, Nur Harisyah Pratiwi dari Sumsel 

TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG- Sebenarnya, penampilan Nur Kharisya Pratiwi (Caca), Puteri Sumatera Selatan (Sumsel) 2017 yang memlih tokoh “Ratu Sinuhun” sebagai tema dan judul di ajang Unjuk Bakat Puteri Indonesia, pada Senin 27 Maret 2017, di Studio 2 Indosiar,  Jakarta, patut didukung.

Sebab, tokoh Ratu Sinuhun yang merupakan isteri dari Sido Ing Kenayan, salah satu Raja Palembang yang berkuasa 1639-1650 adalah seorang perempuan cerdas, kharismatik, penyebar agama Islam dan pembuat Undang-undang Simbur Cahaya.

Namun pada kenyataannya, penampilan Caca justeru menuai banyak kritik dan kecaman oleh pengguna netizen di Facebook dan Instragram. Dinilai, penampilan Caca telah melanggar nilai-nilai budaya,  baik dari dari sisi estetika, maupun etika  yang ada pada karakter Ratu Sinuhun.

Simaklah tampilan caca di Instagram (lihat https: www.instagram.com/p/BSJeDGug_Ii), ada banyak unsur yang tidak cocok. Pertama pemilihan ilustrasi musik lagu “Gending Sriwijaya”, kedua penggunaan Pridon (Bahasa Jawa: tempolong, untuk wadah ludah bagi orang yang makan sirih),  dan ketiga  adalah unsur paling sensitif, baik dari estetika maupun etika  yakni menampilkan paha bagian dalam.  

Kostum Puteri Sumsel 2017 yang menuai kontroversi
Kostum Puteri Sumsel 2017 yang menuai kontroversi ()

Pemilihan lagu “Gending Sriwijaya” menunjukkan ketidakmengertian tim kreatif dalam meramu pementasan Caca. Lagu “Gending Sriwijaya” adalah lagu untuk mengenang kebesaran Kerajaan Sriwijaya yang Berjaya pada abad ke 7 hingga kira-kira abad ke-12 M.  Sedangkan “Ratu Sinuhun” tidak hidup di jaman Sriwijaya, tetapi hidup di masa Kejaraan Palembang pada pertengahan abad ke-17.

Nilai-nilai budaya Sriwijaya tentu berbeda dengan nilai-nilai Kerajaan Palembang yang beragama Islam. Pencampuradukan sejarah dalam tampilan seperti ini akan berakibat penyesatan pemahaman bagi masyarakat. Akibatnya, banyak orang yang menyaksikan tampilan ini mengira Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan serta Kesultanan Palembang Darussalam itu sama.

Begitu pula penggunaan pridon sebagai properti (hand property) yang dipegang oleh Caca. Rasanya, tidak pantas seorang Ratu Sunuhun memegang pridon meskipun bentuk pridon yang terbuat dari tembaga itu terlihat begitu bagus. Memang, pridon merupakan salah satu properti yang digunakan dalam tari “Gending Siwijaya”. Fungsi Pridon untuk menampung ludah setelah tamu mengunyah sirih dari dalam tepak yang disuguhkan oleh seorang penari primadona.

Unsur ketiga adalah busana terbuka di antara kaki bagian depan sehingga menampilkan paha bagian dalam Caca sebagai Sang Puteri yang memerankan “Ratu Sinuhun”. Dalam gerakan-gerakan tertentu paha sang puteri sengaja ditonjolkan untuk menunjukkan kesan sensual. Saya kurang paham apa maksudnya. Apakah hanya untuk memamerkan mulusnya paha Sang Puteri atau tuntutan estetika yang dipikirkan oleh Tim Kreatif.

Beberapa komentar dari netizen mengatakan bahwa modifikasi kostum seperti itulah yang dikehendaki di ajang unjuk bakat dalam proses pemilihan puteri Indeonesia.  Jika tidak seperti itu, maka nanti dianggap orang Dusun {Ndeso).

Saya kira, tidak juga begitu. Tuntutan panitia Puteri Indonesia, setahu saya selalu menekankan pada penggunaan busana tradisional sesuai dengan norma-norma masing-masing adat yang berlaku. Jika saja panitia menuntut busana yang vulgar maka ajang Puteri Indonesia dapat dikatakan cacat nilai dan hanya menonjolkan Sekulerisme (menonjolkan esetetika dangkal tanpa etika) yang dikamuflase dengan budaya Insonesia, apalagi budaya yang ada di Sumatera Selatan. 

Saya sendiri, pernah tiga kali (2009, 2010 dan 2011) diminta oleh Yayasan Puteri Sumsel untuk membantu membuat konsep, melatih Puteri Sumsel di ajang Unjuk Bakat dan bahkan pada tahun 2009 ikut mendampingi hingga ke Jakarta. Berdasarkan pengalaman  mendampingi dan melihat cara-cara yang dilakukan dalam proses pemilihan Puteri Indonesia, ajang unjuk bakat sepertinya merupakan ruang untuk menunjukkan kebudayaan masing-masing daerah yang diwakili oleh peserta. 

Begitulah seharusnya, disamping pengetahuan umum yang dimiliki oleh peserta, pemahaman lokal sebagai Puteri yang namanya melekat dengan nama daerah wajib memahami kebudayaan daerahnya, minimal materi yang disuguhkan dalam ajang tersebut. Jika tidak, maka sebenarnya, ini lebih mengutamakan ajang promosi  produk sponsor utama dan kemudian diikuti sponsor-sponsor lain yang terkait dengan kecantikan perempuan.

Dengan kata lain, jika hubungan sponsor dengan para peserta hanya mengutamakan bobot ekonomi tetapi tidak memiliki bobot intelektualitas dan kebudayaan maka hubungan peserta dengan sponsor boleh disebut sebagai hubungan eksploitatif  yang menggunakan tubuh perempuan.

Kembali ke persoalan tampilan Caca. Dalam hukum seni pertunjukan profesional, jika seseorang sudah tampil di atas panggung, maka haruslah  diasumsikan bahwa penampil sudah siap dan memahami materi. Tidak ada alasan bahwa persiapannya terburu-buru atau latihannya hanya satu hari.

Bukankah panitia sudah memberikan pedoman bagi peserta terhadap apa yang mau ditampilkan. Oleh karena itu,   jika pementasan usai,  peserta harus menerima segala bentuk evaluasi. Begitu pula, dengan Puteri Sumsel sebagai peserta. Puteri Sumsel ketika tampil, diasumsikan adalah orang yang  sudah memahami budaya, paling tidak materi yang akan ditampilkan.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved