Opini

Menangis di Talang Tuwo, Meraung Mengingat Kedukan Bukit

Setelah kerajaan yang memiliki kemampuan menjadikan laut sebagai “ruang dialog” tersebut runtuh, strategi kebudayaannyaditeruskan kerajaan-kerajaan la

Editor: M. Syah Beni
zoom-inlihat foto Menangis di Talang Tuwo, Meraung Mengingat Kedukan Bukit
Taufan Wijaya

Saya meraung saat dia menjelaskan tidak tertandainya lokasi situs Kedukan Bukit, lokasi ditemukannya Prasasti Kedukan Bukit.

Prasasti Kedukan Bukit isinya membuktikan kelahiran kota Palembang, dan Palembang sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya.

“Tahunya kita ditemukan di tepi Sungai Kedukan. Lokasinya sendiri sudah jadi badan sungai, dan tidak ada penandanya. Kalau tidak segera ditandai, jelas hanya beberapa tahun ke depan tidak akan ada yang tahu lokasi situsnya,” kata Nurhadi.

Bagaimana dengan Situs Telaga Batu? Situs Telaga Batu adalah lokasi ditemukannya Prasasti Telaga Batu yang isinya menjelaskan struktur pemerintahan dan kelompok profesional di masa Sriwijaya.

Nasibnya juga tragis. Balar Sumatera Selatan tidak dapat melakukan penelitian di situs tersebut karena lahan merupakan lahan sengketa antara PT Pupuk Sriwidjaja dengan masyarakat.

“Yang terjaga baik mungkin situs Bukit Siguntang,” kata Nurhadi.

Nurhadi pun mengatakan rusaknya keberadaan situs-situs penting Kerajaan Sriwijaya tersebut pada dasarnya karena pembangunan yang tidak memperhatikan lingkungan hidup.

“Ini membuktikan kerusakan lingkungan hidup itu bukan hanya berdampak pada ekologi juga cagar budaya,” ujarnya.

MENGAPA hal ini terjadi? Apakah memang benar yang diyakini sejumlah orang pada saat Soeharto berkuasa, jika ada upaya dari pemerintah untuk mengaburkan sejarah Kerajaan Sriwijaya?

Dr. Farida R. Wargadalem, sejarawan dari Universitas Sriwijaya, yang memiliki gagasan harus dilakukan penandaan terhadap situs-situs Kerajaan Sriwijaya di Palembang maupun di daerah lain di Asia Tenggara, tidak menjawab secara langsung pertanyaan tersebut.

“Pemahaman membuat orang bertindak, pemahaman terjadi akibat pengetahuan. Pengetahuan bisa terjadi jika ada stimulus atau kemauan untuk mencari ‘tahu’. Jika keduanya tak ada maka jangan harap akan terjadi perubahan,” kata Farida melalui akun facebook saya.

“Nah bagaimana masyarakat di Palembang atau Sumsel? Kita masuk kategori yang mana? Saatnya bergerak. Ibaratnya "nunggu buah nyampak dak kada, jadi mesti dijuluk!" (menunggu buah jatuh tidak mungkin, jadi harus diambil).”

Oleh karena itu, katanya, mereka yang punya keinginan yang sama dan sungguh-sungguh harus berbuat. Bertahap. Kita butuh proses yang panjang untuk menjaga dan mengembalikan nilai-nilai Sriwijaya tersebut, yang sangat peduli dengan lingkungan hidup dan kemakmuran semua manusia.

Saya pun belajar menghapus air mata di dada. Mengolah identitas cengeng, agar tidak menyusahkan orang banyak dan Bumi.*

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved