Opini

Menangis di Talang Tuwo, Meraung Mengingat Kedukan Bukit

Setelah kerajaan yang memiliki kemampuan menjadikan laut sebagai “ruang dialog” tersebut runtuh, strategi kebudayaannyaditeruskan kerajaan-kerajaan la

Editor: M. Syah Beni
zoom-inlihat foto Menangis di Talang Tuwo, Meraung Mengingat Kedukan Bukit
Taufan Wijaya

Oleh Taufik Wijaya, Mongabay Indonesia

MUNGKIN tidak ada yang membantah jika Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan besar di masa lalu, yang selama enam abad, memakmurkan suku bangsa di Asia Tenggara.

Setelah kerajaan yang memiliki kemampuan menjadikan laut sebagai “ruang dialog” tersebut runtuh, strategi kebudayaannyaditeruskan kerajaan-kerajaan lainnya di Asia Tenggara yang memainkan laut sebagai ruang dialog ekonomi, politik, seni, teknologi, dan lainnya.

Dan, saya sepakat strategi kebudayaan Kerajaan Sriwijaya beransur melemah atau ditinggalkan akibat kolonialisasi bangsa Eropa bersama sekutunya dari Timur Tengah maupun Asia, yang mengusung spirit revolusi industri di Asia Tenggara.

Salah satu penyebab melemahnya karena para kolonial mengeksploitasi kekayaan alam demi memenuhi kebutuhan bahan baku industri yang berkembang pesat di Barat.

Manusia menjadi pusat alam; alam menjadi pelayan atau pemenuh kebutuhan dan keinginan manusia.
Sikap ini jelas berbeda dengan apa yang diperankan Sriwijaya sebelumnya.

Sriwijaya memperlakukan alam sebagai “mitra”. Manusia dengan alam saling memberi, merawat, dan menjaga. Keseimbangan.

Hal ini tercermin dalam Prasasti Talang Tuwo, sebuah prasasti yang dibuat pemimpin Sriwijaya pada 684.

Selama masa kolonial, mulai muncul konflik manusia dengan alam. Ditandai adanya ketegangan antara manusia dengan raja hutan, harimau sumatera.

Sering kali disebutkan dalam catatan atau pemberitaan, terjadi serangan harimau sumatera terhadap manusia.

Begitu pun sebaliknya, banyak harimau sumatera yang tewas setelah diburu manusia. Konflik ini jelas sebagai akibat pembukaan hutan yang dilakukan manusia, demi kepentingan perkebunan dan pertanian yang dijalankan pemerintahan kolonial.

Pada tahapan selanjutnya, terjadi penimbunan rawa dan sungai demi mendapatkan lahan untuk lokasi pembangunan perkantoran, perumahan dan pertokoan.

Setelah Indonesia berdiri, perilaku buruk terhadap alam ini terus berlangsung.

Bagi harimau sumatera, tidak ada perbedaan perilaku antara pemerintahan kolonial dengan Republik Indonesia. Hidup mereka terus terancam.

Sebab keduanya sama-sama merusak hutan dan lahan, demi mendapatkan keuntungan atas kekayaan alam.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved