Opini
Menangis di Talang Tuwo, Meraung Mengingat Kedukan Bukit
Setelah kerajaan yang memiliki kemampuan menjadikan laut sebagai “ruang dialog” tersebut runtuh, strategi kebudayaannyaditeruskan kerajaan-kerajaan la
Sampai hari ini konflik kian meluas. Perlawanan alam terhadap manusia bukan sebatas ditunjukan para satwa, juga dalam bentuk yang lebih menakutkan, seperti banjir, kekeringan, hingga perubahan iklim.
Dengan fakta tersebut, maukah manusia Indonesia menyadari mengeksploitasi alam merupakan tindakan yang salah dan harus dihentikan? Tampaknya hari ini sebagian besar manusia Indonesia belum menyadarinya. Mereka terus melakukan eskploitasi.
Ada banyak dalil guna mempertahankan sikap mereka tersebut. Di antaranya pernyataan klisetindakan itu sebagai upaya memakmurkan manusia Indonesia.
Terkait kemarahan alam, dilakukan berbagai upaya mengatasinya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Meskipun faktanya upaya tersebut gagal. Kebakaran hutan, banjir, kekeringan, terus berlangsung selama 18 tahun terakhir.
Menangis
SAYA menangis tanpa air mata saat mengunjungi lokasi situs Talang Tuwo di Desa Talang Telapa, Kecamatan Talang Kelapa, Palembang, belum lama ini.
Saya menangis karena malu. Kenapa? Sebab prasasti yang menunjukkan niat baik sekaligus strategi pembangunan Kerajaan Sriwijaya yang akhirnya sukses menjayakan bangsa Asia Tenggara tersebut—prasasti yang dibuat dua tahun setelah Prasasti Kedukan Bukit pada 684—turut menjadi korban dari eksplorasi kekayaan alam.
Lokasi prasasti yang dulunya merupakan taman yang asri, disebut Taman Sriksetra, kini menjadi perkebunan kelapa sawit. Kelapa sawit merupakan tanaman khas Afrika yang didatangkan ke Indonesia oleh kolonial Belanda dan sekutunya, dan terbukti sangat merusak kualitas tanah.
Saat banyak pembangunan di Palembang yang melakukan penimbunan di lahan basah. Wilayah perbukitan yang masuk lansekap situs Talang Tuwo, menjadi objek pengerukan tanah. Beberapa bukit hilang, dan sebagian keroak, karena digali.
Bahkan, saat penggalian tersebut sering ditemukan keramik atau artefak peralatan rumah tangga dari masa lampau. Sayang beragam penemuan ini tidak terlaporkan ke Balai Arkeologi Sumatera Selatan atau pemerintah Palembang.
Kini wilayah eks galian tersebut direncanakan menjadi lokasi pemakaman umum oleh pemerintah Palembang.
Menurut Bambang Budi Utomo, arkeolog dari Puslitbang Arkeologi Nasional, beberapa tahun lalu pernah dilakukan penelitian palinologi—penelitian serbuksari tanaman—di sekitar Situs Talang Tuwo. Penelitian itu dimaksudkan untuk mengetahui keberadaan tanam-tanaman sebagaimana disebutkan di dalam prasasti.
“Ternyata dari penelitian tersebut lebih dari 90 persen tanaman yang ada pada lahan situs seperti yang disebut dakam prasasti. Hanya beberapa jenis serbuk sari tidak teridentifikasi,” tulis Budi dalam pesannya di akun facebook saya.
Namun demikian, katanya, sampai sejauh ini penelitian arkeologis yang tujuannya mencari sisa kegiatan di masa lampau belum pernah dilakukan. Sementara itu hampir seluruh lahan situs sudah rusak.
“Secepatnyalah dilakukan penelitian penyelamatan sebelum terjadi perusakan lebih parah,” katanya.
SAYA tidak berhenti menangis. Tangisan tanpa air mata ini kian bertambah.
Jiwa saya pun meraung saat bertemu Nurhadi Rangkuti, arkeolog dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan.