Kisah Usman Setengah Abad Hidup di Perahu
Bukan tanpa alasan Usman menjalani hidup seperti itu. Lelaki sebatang kara ini terlahir dalam kondisi tubuh tidak sempurna. Dia bertahan dari belas
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Siapa sangka, di era modern seperti sekarang ini, di Kota Palembang yang semakin maju, masih ada warga yang tinggal dan menghabiskan waktu di atas perahu dalam kondisi memprihatinkan.
Dialah Usman, si Manusia Perahu. Julukan yang disematkan oleh orang-orang yang mengenalnya itu tak berlebihan, karena seumur hidupnya, 50 tahun, Usman berada di perahu.
"Aku tinggal sama bapak di perahu, sedangkan ibu sudah lama meninggal," kata Usman. Dia berbincang menggunakan dialek Palembang. Usman tak mengingat wajah ibunya karena sudah pergi ketika dia masih bayi. Sedangkan ayahnya meninggal saat Usman belum berusia 10 tahun.
Bukan tanpa alasan Usman menjalani hidup seperti itu. Lelaki sebatang kara ini terlahir dalam kondisi tubuh tidak sempurna. Dia bertahan dari belas kasihan orang-orang yang berada di sekitaran Pulau Kemaro.
Tribun Sumsel bertemu dengannya sedang menepi di Sungai Musi di kawasan Jl Doktor Sutami RT 14 RW 04 Kelurahan Sei Selayur Kecamatan Kalidoni, Rabu (29/7). Tidak terlalu sulit mencarinya karena meski tinggal berpindah-pindah, dia tetap berada di di sekitaran Pulau Kemaro.
Tribun diantar Suhibi bersama Kudus dan istrinya, warga setempat yang mengenalnya. Perahu Usman terlihat jauh di tengah sungai berada di samping kapal. Kami berteriak memanggilnya, tapi tak terdengar oleh Usman. Bu Kudus lantas menaiki perahu sampan menuju perahu Usman.
Sekitar 10 menit, Bu Kudus kembali, disusul Usman. Perahunya perlahan mendekat, tetapi sosok Usman tak terlihat sedang mendayung. Setelah betul-betul dekat, barulah sosok lelaki berbaju hitam menyapa mata. Tangannya terlihat bergetar. Tubuh dibalur peluh di tengah teriknya matahari.
Kudus membantu Usman yang terlihat kelelahan untuk menepikan perahu. Namun lelaki itu tak beranjak. Kakinya lumpuh, tak bisa digerakkan sama sekali. Bahkan untuk memutur badan dia kesulitan.
Panjang perahunya kisaran 5 meter. Atap daun nipah menutupi sepertiga perahu. Di dalam sana tempat Usman istirahat, berlindung dari terik matahari atau hujan. Atap itu dilapisi terpal bekas. Terlihat sejumlah tambalan di badan perahu.
Sementara bagian depan sudah bocor, tak bisa Usman memperbaikunya. Air masuk ke perahu, sehingga Usman sering mendayung sambil membuat air pakai gayung.
Usman mengaku sejak kecil tinggal di atas perahu itu bersama ayahnya. Sedangkan ibunya meninggal sejak ia masih sangat kecil bahkan ia tak dapat mengingatnya.
Dia hidup dari pemberikan pekerja di kapal-kapal penambang pasir yang kadang bersandar di pulau kemarau. terkadang dapat makanan dari para nelayan dan warga di sekitar pulau.
Usman punya peralatan dapur seperti kuali, periuk nasi, dan potongan kayu bakar untuk memasak. Harta berharga miliknya berupa dua kain sarung dan beberapa helai pakaian ganti.
"Usman ini makan minumnya dihabiskan diatas perahu termasuk mandi dan masak, bahkan kadang ketika ia sudah kelelahan mendayung ia menunggu hembusan angin untuk memindahkan perahunya," kata Kudus, ikut berbincang.
Kudus sering memberi Usman makanan. Dia sudah kenal lama, sejak masih bekerja di kapal.
"Saya kenal Usman sejak tahun 1985, dia masih sehat, tidak seperti sekarang. Walau pun dia tidak bisa berjalan, tapi dia bisa berdiri dan mendayung," ujarnya.