Opini
Pengaturan Intensitas Bangunan atau Ketinggian Bangunan
Pengembangan fisik kota, khususnya terkait pengembangan gedung pencakar langit, selayaknya tidak hanya didasarkan pada pertimbangan keuntungan
TRIBUNSUMSEL.COM - Pengembangan fisik kota, khususnya terkait pengembangan gedung pencakar langit, selayaknya tidak hanya didasarkan pada pertimbangan keuntungan secara ekonomi, kelayakan teknis, serta estetika semata, namun juga perlu disertai dengan pertimbangan kapasitas infrastruktur kota yang memadai.
Fenomena bermunculannya gedung pencakar langit di berbagai kota di dunia seringkali dianggap simbol kemajuan atau modernitas. Semakin maju suatu kota diidentikkan dengan semakin banyak gedung pencakar langit yang ‘menghias’ langit kota. New York, Chicago, San Fransisco di Amerika Serikat merupakan beberapa kota yang dipenuhi gedung pencakar langit. Seolah tak ingin ketinggalan, kota-kota di Asia pun mulai dijejali oleh gedung pencakar langit seperti Tokyo di Jepang, Dubai di UEA, hingga Jakarta di Indonesia.
Bahkan akhir-akhir ini, kota Palembang pun mulai dikepung oleh berbagai gedung bertingkat yang kabarnya tidak ada lagi batasan jumlah lantai yang diizinkan. Memang kota-kota yang disebutkan sebelumnya tumbuh menjadi pusat kegiatan ekonomi di masing-masing wilayahnya dengan tingkat perekonomian yang tinggi.
Mungkin saja kondisi inilah yang mendorong pemerintah kota Palembang untuk mengadopsi pengembangan gedung bertingkat. Namun demikian, tidak salah kiranya untuk menggali lebih jauh tentang latar belakang munculnya gedung pencakar langit tersebut yang pada dasarnya tidak semata didasarkan pada alasan ekonomis dan estetis semata, apalagi prestise, namun dilatarbelakangi oleh sesuatu yang lebih mendasar dan sangat ‘fungsional’, yakni efisiensi pemanfaatan ruang dan keseimbangan ekologis.
Dampak negatif dari ‘urban spraw’ (kota yang menyebar tak beraturan) telah mendorong munculnya berbagai gagasan intensifikasi guna lahan untuk mewujudkan efisiensi penggunaan lahan. Sementara, pertumbuhan merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Setiap tahun jumlah penduduk semakin besar dan membutuhkan ruang yang semakin besar pula untuk mewadahi berbagai aktivitas yang dilakukannya mulai dari tempat untuk bekerja, berbelanja, rekreasi, hingga tempat tinggal. Sementara itu, lahan yang tersedia di daerah perkotaan sangat terbatas. Luas lahan perkotaan yang cenderung statis tidak dapat mengimbangi kebutuhan ruang yang semakin besar dari hari ke hari. Inilah salah satu hal fundamental yang mendasari gagasan pembangunan vertikal.
Pengembangan Kota Kontemporer
Konsep-konsep pengembangan kota kontemporer cenderung diarahkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penggunaan lahan kota secara signifikan agar dapat menampung pertumbuhan jumlah penduduk dengan berbagai kebutuhan fasilitasnya dengan tetap menjaga keseimbangan lingkungan. Di akhir abad ke-20, berbagai pemikiran tentang konsep intensifikasi penggunaan lahan kota ini mulai banyak bermunculan, khususnya di Amerika dan Eropa. Di Amerika Serikat, gerakan efisiensi pemanfaatan ruang kota ini telah dimulai sejak awal tahun 1980-an. Sebuah gerakan yang berkembang dari arsitek, perencana, pengembang, dan lain-lain. Salah satu tokoh yang memulai gagasan tentang ini adalah Peter Katz yang dikenal dengan konsep ‘New Urbanisme’nya. Konsep ini mengarahkan pola pengembangan kota yang cenderung sprawl/ menyebar selama ini ke pengembangan yang lebih kompak dan manusiawi.
New Urbanism adalah kebangkitan seni pembentukan tempat sekaligus sebagai respon terhadap kegagalan konsep perencanaan terdahulu dalam menciptakan lingkungan binaan yang berkualitas dan menjamin keberlangsungan kehidupan manusia dan lingkungan sekitarnya. Konsep ini berbicara tentang memperbaiki kota, serta menciptakan kota dan daerah-daerah baru yang lebih kompak. Begitu pula dengan Compact City, konsep ini bertujuan menciptakan kota dengan kepadatan tinggi, guna lahan campuran, dan mengintensifkan bentuk perkotaan. Meskipun berbeda istilah, namun terdapat hubungan yang kuat antara ide-ide new urbanisme dan compact city yakni terkait prinsip-prinsip pengembangan kota dengan kepadatan tinggi/ intesifikasi kota, guna lahan campuran, sistem transportasi yang efisien dan dimensi ruang yang mendorong pergerakan tanpa kendaraan bermotor.
Pengembangan Fisik dan Infrastruktur Kota
Semakin tinggi aktivitas di suatu wilayah maka akan membutuhkan dukungan infrastruktur yang lebih besar pula. Oleh sebab itu, pengembangan intensifikasi guna lahan kota melalui pengembangan gedung-gedung bertingkat perlu diimbangi oleh kapasitas infrastruktur yang memadai. Setiap penambahan 1 m2 luas lantai bangunan tentu saja akan menambah daya tampung orang dan tingkat aktivitas yang terjadi di gedung tersebut sehingga meningkatkan pula kebutuhan dukungan infrastruktur yang diperlukan seperti listrik, drainase, air bersih, transportasi, hingga pembuangan sampah.
Sebagai contoh, salah satu komponen infrastruktur yang terpenting adalah transportasi. Infrastruktur transportasi terkait dengan kapasitas jalan dan sarana perangkutan. Dengan pengembangan gedung-gedung bertingkat tinggi akan meningkatkan aktivitas yang terjadi yang akan mempengaruhi volume pergerakan kendaraan. Semakin banyak lantai gedung yang dibangun, maka akan semakin besar pula volume pergerakan kendaraan yang terjadi. Bila kapasitas jalan yang tersedia tidak sebanding dengan volume kendaraan yang dibangkitkan oleh gedung-gedung bertingkat tersebut serta tidak adanya sistem angkutan umum masal yang handal, maka yang terjadi adalah kemacetan. Fenomena inilah yang terjadi di kota Jakarta saat ini.
Disamping infrastruktur transportasi, diperlukan juga kapasitas yang memadai terkait sistem drainase, air bersih, listrik, dan pengolahan sampah yang harus disediakan dalam pengembangan kota pencakar langit. Setiap penambahan luas lantai bangunan akan menyebabkan konsekuensi bertambahnya kebutuhan listrik, air bersih, serta buangan air kotor dan timbulan sampah. Apakah semua kapasitas infrastruktur yang disiapkan akan dapat menampung volume yang dibutuhkan di masa mendatang? Faktanya, seringkali keterbatasan kapasitas daya dukung infrastruktur yang dapat disediakan oleh pemerintah menjadi batasan dalam dalam pengaturan luas bangunan yang dapat dikembangkan di suatu wilayah perkotaan.
Pengaturan Intensitas Bangunan
Rencana untuk menjadikan kota Palembang sebagai kota Internasional yang modern dengan mengembangkan gedung bertingkat tinggi merupakan suatu keinginan yang sangat baik dan perlu didukung. Namun demikian, rencana pengembangan tersebut kiranya perlu juga mempertimbangkan bagaimana dukungan infrastruktur kota yang ada.
Apakah kapasitas infrastruktur kota memungkinkan tidak adanya pembatasan luas dan ketinggian bangunan yang boleh dibangun ? Hal ini merupakan pertimbangan yang penting untuk mencegah terjadinya permasalahan dikemudian hari yang akan merugikan masyarakat serta akan dapat sangat membebani pemerintah di masa mendatang. Alih-alih meningkatkan kualitas kota dan kehidupan masyarakatnya, malah akan semakin memperburuk kondisi kota.
Pengembangan fisik kota, khususnya terkait pengembangan gedung pencakar langit, selayaknya tidak hanya didasarkan pada pertimbangan keuntungan secara ekonomi, kelayakan teknis, serta estetika semata, namun juga perlu disertai dengan pertimbangan kapasitas infrastruktur kota yang memadai.
Tanpa perencanaan infrastruktur yang matang, maka akan berdampak buruk dan jangka panjang terhadap kualitas lingkungan perkotaan. Tentu saja tidak ada yang berharap, dibalik kemegahan gedung-gedung yang menjulang tinggi terdapat masalah kemacetan, banjir, sampah yang berserakan hingga krisis listrik dan air bersih akibat kegagalan dalam menyediakan dukungan infrastrukur yang memadai.
Sebagaimana yang dapat dipelajari dari pengembangan kota-kota besar di dunia, bahwa kemajuan suatu kota tidak hanya ditandai dengan berdirnya gedung-gedung pencakar langit, namun juga disertai pengembangan sistem infrastruktur kota yang tidak kalah intensifnya.