Opini

“Perahu Karet” yang Terombang-Ambing

Sederhananya, ketika negara pembeli (sisi permintaan) mengalami krisis maka mereka akan mengurangi permintaan,

zoom-inlihat foto “Perahu Karet” yang Terombang-Ambing
TRIBUNSUMSEL.COM
Icon Tribunsumsel.com

TRIBUNSUMSEL.COM - Sederhananya, ketika negara pembeli (sisi permintaan) mengalami krisis maka mereka akan mengurangi permintaan, akibatnya terjadi kelebihan penawaran, dan ini memicu harga untuk turun. Dalam keadaan seperti ini, semestinya negara tidak hanya mengandalkan mekanisme pasar seperti diatas, peningkatan nilai tambah produk (hilirisasi) mutlak dibutuhkan.

Diambang sore beberapa hari yang silam, saya dikejutkan oleh suara mobile phone. Tak dinyana seorang karib lama menghubungi. Sebenarnya dalam batin ada rasa engan untuk menerima sambungan itu, maklum biasanya karena lama tak bersua pembicaraan pun pasti panjang lebar dan menghabiskan waktu setidaknya satu jam.

Namun dugaan saya keliru, dia hanya berbicara seperlunya dan beberapa menit saja, saya pun bertanya mengapa begitu singkat, jawabnya pun singkat “karet lagi murah”. Kalimat ini menuntun saya untuk mencari tahu ada apa dengan karet. Ternyata jawabnya tidaklah sesingkat itu, ada kegalauan petani terhadap harga karet yang semakin melorot dua tahun terakhir ini.

Menyambung rasa penasaran tadi, saya kemudian berselancar mencari perkembangan harga karetdunia. Terlihat jelas memang trend harga karet yang menurun cukup tajam. Harga karet di pasar lelang Bangkok misalnya rerata per jenis RSSpada bulan maret 2011 sebesar US $ 5,7 per kg, kemudian tahun 2013 menurun menjadi US $ 2,9 per kg, dan memasuki2015 (yoy) hanya tersisa US $ 1,9 per kg saja.Diketahui, negara Thailand memiliki kualitas karet yang lebih baik sehingga harga yang dipatok pun relatif lebih tinggi bila dibandingkan dengan Indonesia.

Tidaklah heran kalau yang terjadi harga karet Indonesia jauh di bawah harga tadi.Secara makroekonomi, penyebab yang mengemuka mengenai penurunan harga karet ini yaitu melemahnya perekonomian negara yang menjadi tujuan ekspor Indonesia seperti India, Eropa, USA dan Tiongkok.

Perekonomian dunia khususnya Eropa masih diliputi awan gelap akibat adanya krisis ekonomi yang bermula dari negara Paman Sam. Seiring dengan tergerusnya perekonomian Eropa, Tiongkok pun mengalami pertumbuhan yang melambat. Pada periode 2011-2012 ekonomi Tiongkok tumbuh diatas 9%, dan belakangan ini perekonomian negeri Tirai Bambu mengalami penurunan, di tahun 2014 tumbuh 7,6% dan tahun 2015 diprediksi hanya 7,1%.

Keadaan di atas berimbas pula pada harga karet di Sumsel, data empiris menunjukkan 90%-an hasil perkebunan ini di ekspor ke mancanegara seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Goncanganperekonomian internasional sangat berdampak pada dinamika harga komoditas, inilah konsekuensi dari perekonomian terbuka.

Harga karet di tingkat petani di Sumsel lebih rendah dari harga komoditi beras, rerata harga karet bulanan hasil lelang di beberapa tempat pada bulan maret ini berkisar Rp 8000-an per kg, sementara itu harga beras untuk kualitas sedangsudah di atas Rp 10.000 per kg, sebuah ironi di negara yang masih mengagungkan agraris sebagai jargonnya, padahal dalam pidatonya yang mengelegar presiden pertama Republik ini mengatakan pertanian soal hidup dan mati. Saya menerjemahkannya sektor pertanian mesti mendapat perhatian khusus karena menyangkut hidup mati orang banyak.

Lihat saja data Dinas Perkebunan Sumsel pada 2013 yang menunjukkan sebanyak 648.457 petani menggantungkan hidup pada perkebunan karet, dengan luas lahan mencapai 1.232.038 hektar. Dapat pula dimaknai, bila harga karet terus terpuruk, secara langsung ada ratusan ribu yang mempertaruhkan hidup matinya, dan secara tidak langsung pun akan menjadi “hidup mati” sektor jasa.

Sejatinya, kejadian melemahnya harga komoditas utama bukanlah yang pertama, sebelumnya ada gejolak harga kopi, lada dan cengkeh. Artinya para petani karet pun sebenarnya bisa mengambil hikmahnya. Dimana harga komoditas di Indonesia terutama dalam perekonomian terbukatidaklah rigid dan campur tangan pemerintah hampir nihil (tidak mampu sepenuhnya mengendalikan harga), akan tetapi harga lebih ditentukan oleh kekuatan supply dan demand dari negara lain.

Sederhananya, ketika negara pembeli (sisi permintaan) mengalami krisis maka mereka akan mengurangi permintaan, akibatnya terjadi kelebihan penawaran, dan ini memicu harga untuk turun. Dalam keadaan seperti ini, semestinya negara tidak hanya mengandalkan mekanisme pasar seperti diatas, peningkatan nilai tambah produk (hilirisasi) mutlak dibutuhkan.

Dilema Petani
Kegalauan petani tetentu beralasan, namun sebelumnya saya mencoba menelusuri pola konsumsi masyarakat secara umum.Berbagai hasil riset menyuguhkan temuan bahwa kecenderungan konsumsi marginal masyarakat Indonesia relatif masih tinggi yaitu mendekati 0,5 bahkan untuk masyarakat kelas bawah mendekati 0,6.

Hal ini penting saya utarakan, karena angka ini mengindikasikan bahwa rerata kencenderungan masyarakat untuk membelanjakan pendapatannya sebesar 50%-60%. Menariknya, ketika harga suatu komoditas meningkat, sebagian masyarakat konsumsinya beralih ke barang-barang mewah dengan cara mencicil dengan jangka waktu 2-3 tahun. Harapannya, cicilan tadi mampu di bayar dari “limpahan” kenaikan harga komoditas.

Ketika harga komoditas menurun drastis cicilan menjelma menjadi dilema [tidak dibayar barang ditarik kembali, dibayar perut jadi kosong]. Lalu mengapa prilaku ini masih berlanjut? Dalam ilmu ekonomi makrodikenal dengan demonstratif effect (ikut-ikutan pola konsumsi orang lain), walau dirasa belum butuh namun keinginan untuk sama dengan orang lain mengharuskan ia membeli barang itu.

Dampak lainnya adalah secara kasat mata menurunnya harga komoditas karet ini menyebabkan sebagian para orang tua menunda anaknya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi (kuliah misalnya). Bila ini terjadi dalam jangka panjang dan massif tentunya akan menjadi batu sandungan bagi pemerintah daerah untuk mengejar indeks pembangunan manusia. Sisi gelap lainnya, penurunan harga komoditas karet ini berkorelasi erat dengan masalah sosial seperti kriminal (pencuriandan penodongan) yang kerap terjadi setahun terakhir ini.

Halaman
12
Tags
Opini
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved