Ledakan di Masjid SMAN 72 Jakarta

Sosok Tetty Helena Tampubolon, Kepsek SMAN 72 Jakarta Diisukan Dicopot Imbas Ledakan Korban Bullying

Kepala SMAN 72 Jakarta, Tetty Helena Simbolon, disorot pasca insiden ledakan di sekolahnya, pasrah jika dicopot, bantah disebut abaikan terduga pelaku

|
Penulis: Aggi Suzatri | Editor: Kharisma Tri Saputra
Kompas.com/Dian Erika
KASUS LEDAKAN SEKOLAH- Kepala SMAN 72 Jakarta, Tetty Helena Simbolon, tengah jadi sorotan pasca terjadinya insiden ledakan di sekolahnya, pasca jika dicopot dari jabatan saat memberikan keterangan di Kantor Wali Kota Jakarta Utara, Sabtu (15/11/2025). 

Isu kedua, soal pelaku pernah melapor ke guru Bimbingan Konseling (BK) pernah menjadi korban bully. Tetty mengaku sudah mengonfirmasi isu tersebut kepada pihak guru.

“Yang saya panggil memang satu, lalu saya minta tolong ke tiga guru BK lainnya, ‘siapa yang sudah dihubungi?’ Ternyata jawabannya, ‘Bu, kami enggak ada (laporan soal bully),’” ucap Tetty.

Sebelumnya, Eks Kepala Densus 88 Antiteror, Komjen Marthinus Hukom, mengungkapkan terduga pelaku ledakan di SMAN 72 Jakarta pernah melaporkan tindakan perundungan (bullying) kepada pihak sekolah, namun laporan tersebut diduga diabaikan. 

Temuan ini menjadi bagian dari rangkaian penyelidikan atas insiden yang melukai puluhan orang itu.

Marthinus menjelaskan, informasi tersebut diperoleh dari hasil pemeriksaan penyidik serta keterangan para siswa di sekolah. Laporan itu juga diperkuat oleh catatan pribadi terduga pelaku yang berstatus anak berkonflik dengan hukum (ABH).

“Itu kan dari hasil investigasi anak-anak penyidik di lapangan ya. Bahwa dia bersama temannya itu pernah lapor ke sekolah bahwa dia di-bully, tapi tidak ditanggapi,” kata Marthinus, Selasa (18/11/2025).

Menurut Marthinus, penyidik telah menelusuri cerita tersebut dengan meminta keterangan dari siswa lain serta membaca catatan yang ditulis ABH. 

Dalam buku itu, pelaku mengungkapkan rasa tidak berdayanya setelah laporan perundungan tidak digubris pihak sekolah.

“Bahkan dia kan sampai bilang bahwa, ‘Untuk apa percaya sama Tuhan, kita lapor kepada sekolah aja juga tidak ada keadilan,’ begitu,” ujar Marthinus.

Ia menilai pihak sekolah perlu bersikap terbuka dan jujur mengenai adanya perundungan di lingkungan siswa. Menurut dia, perundungan memiliki banyak bentuk dan tidak selalu tampak sebagai tindakan besar.

Sebagian artikel telah tayang di Kompas.com dan Tribunnews.com

Halaman 3/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved