Nadiem Makarim jadi Tersangka

Hotman Paris Bandingkan Kasus Nadiem dan Tom Lembong, Pakar Hukum UI : Hanya Relevan Secara Politik

Kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook jerat mantan mendikburistek Nadiem Makarim jadi sorotan.

Editor: Moch Krisna
Tribunnews.com/Kompas.com/Dok. Kejagung
NADIEM DAN LEMBONG — Kolase penahanan eks Mendikbudristek Nadiem Makarim (kiri) usai diperiksa di Kejagung, Jakarta, Kamis (4/9/2025), terkait dugaan korupsi pengadaan Chromebook Kemendikbudristek 2019–2022, dan eks Mendag Thom Lembong (kanan) usai divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus korupsi impor gula Kemendag 2015–2016 di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat (18/7/2025). 

Meski Nadiem telah ditetapkan sebagai tersangka, penyidik menyatakan belum menemukan bukti bahwa ia menerima dana secara langsung.

 

 
Hotman Paris: Tak Ada Aliran Dana ke Nadiem

Kuasa hukum Nadiem Makarim, Hotman Paris Hutapea, sebelumnya menyampaikan pembelaan setelah kliennya ditetapkan sebagai tersangka oleh Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus).

Hotman menyebut bahwa kasus yang menjerat Nadiem memiliki kemiripan dengan kasus Tom Lembong, terutama dalam hal tidak adanya aliran dana yang masuk ke pribadi pejabat.

“Nasib Nadiem sama dengan nasib Lembong. Tidak ada, satu rupiah yang jaksa temukan uang masuk ke kantongnya Nadiem,” ujar Hotman kepada wartawan, Kamis (4/9/2025).

Ia juga menegaskan bahwa penyidik tidak menemukan bukti penerimaan dana oleh Nadiem, meski telah memeriksa lebih dari 120 saksi dan sejumlah ahli.

 

 
Duduk Perkara Kasus Tom Lembong

Kasus dugaan korupsi yang menjerat Tom Lembong bermula dari penerbitan Surat Persetujuan Impor (SPI) gula kristal mentah pada periode 2015–2016 saat ia menjabat sebagai Menteri Perdagangan.

Jaksa menilai izin impor diberikan kepada sejumlah perusahaan tanpa rekomendasi teknis dari Kementerian Perindustrian dan tanpa rapat koordinasi antarkementerian yang semestinya menjadi syarat mutlak.

Majelis hakim menyatakan bahwa kebijakan tersebut menyebabkan kerugian negara sebesar Rp194,7 miliar, yang seharusnya menjadi keuntungan bagi PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), sebuah BUMN yang ditunjuk sebagai pelaksana stabilisasi harga.

Dalam dakwaan awal, jaksa menyebut kerugian negara mencapai Rp578 miliar, dengan nilai keuntungan yang diterima oleh 10 pihak swasta dan korporasi sebesar Rp515,4 miliar. Namun, hakim menyatakan bahwa sebagian perhitungan bea masuk dan pajak impor belum dapat dinyatakan pasti dan nyata.

Tom Lembong divonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp750 juta, namun tidak dibebankan uang pengganti karena tidak terbukti menikmati hasil korupsi.

Ia kemudian menerima abolisi dari Presiden Prabowo Subianto melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2025 yang ditandatangani pada 1 Agustus 2025, yang menghapus seluruh proses dan akibat hukum atas kasusnya.

 

(*)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved