Berita Viral

Alasan Muhamad Anugrah Ajukan Uji Materi UU Perkawinan, Merasa Hak Konstitusi Dirugikan

Muhammad Anugrah Firmansyah mengajukan uji materi Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi.

Tribunnews.com/Mario Christian Sumampow
Muhammad Anugrah Firmansyah ajukan uji materi UU Perkawinan ke MK demi kepastian hukum bagi pasangan beda agama. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Indonesia memiliki lebih dari 1.200 suku bangsa, 694 bahasa, dan 6 agama yang diakui negara, serta 154 aliran agama penghayat kepercayaan.

“Realitas kemajemukan tersebut membentuk interaksi sosial antarwarga negara di berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam hubungan personal yang kemudian berlanjut pada ikatan perkawinan. Pada titik inilah perkawinan antaragama muncul sebagai sebuah keniscayaan, sebuah konsekuensi logis dan alamiah dari kehidupan bermasyarakat yang majemuk,” kata dia.

Berdasarkan Data Indonesian Conference on Religion and Peace atau ICRP mencatat sebanyak 1.655 pasangan yang melangsungkan perkawinan antaragama dalam periode 2005 hingga Juli 2023.

Selanjutnya, hasil penelitian Noryamin Aini, Ariane Utomo, dan Peter McDonald tahun 2019 dalam jurnal Interreligious Marriage in Indonesia dengan menggunakan sensus penduduk BPS tahun 2010 terhadap 40 juta pasangan suami-istri yang tinggal bersama atau co- resident married couples. Dari total tersebut, peneliti menemukan sebanyak 228.778 pasangan memiliki agama yang berbeda dengan pasangannya.

Dengan demikian, keberadaan warga negara yang hidup dengan pasangan yang berbeda agama adalah realitas sosial masyarakat Indonesia.

Oleh karena itu, keberagaman dan kemajemukan masyarakat Indonesia harus dijadikan dasar pertimbangan bagi negara untuk memastikan adanya kepastian hukum dan perlindungan hak konstitusional setiap warga negara.

Dalam petitumnya, pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan mengadili permohonan a quo untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut. 

Menerima dan mengabulkan Permohonan Pemohon untuk  seluruhnya. 
Menyatakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974  tentang  Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak punya kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa ketentuan a quo tidak dijadikan dasar hukum oleh pengadilan untuk menolak permohonan penetapan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan. 
Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat dan menganggap Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat, mohon agar Majelis Hakim Konstitusi dapat memberikan tafsir konstitusional dengan menyatakan konstitusional bersyarat atau conditionally constitutional, diartikan bahwa ketentuan a quo tidak dijadikan dasar hukum oleh pengadilan untuk menolak permohonan penetapan  pencatatan perkawinan antar umat yang berbeda agama dan kepercayaan.
“Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia. Atau apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya, ex aequo et bono. Demikian pokok-pokok permohonan disampaikan. Atas perhatiannya, saya ucapkan terima kasih,” tambahnya.

SEMA 2/2023 Tidak Kompatibel dengan Kebhinekaan Indonesia

SEMA 2/2023 ini berkaitan tentang 'Petunjuk bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat yang Berbeda Agama dan Kepercayaan'.

Pada pokoknya, SEMA itu memerintahkan pengadilan untuk tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan. 

Peneliti Setara Institute, Achmad Fanani Rosyidi menegaskan SEMA itu tidak kompatibel dengan dengan kebhinekaan Indonesia dan bangunan negara Pancasila. 

"Fakta objektif keberagamaan identitas warga negara, termasuk dari segi agama, seharusnya semakin mendorong perangkat penyelenggaraan negara pada cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk memberikan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan yang lebih baik bagi seluruh warga negara dengan identitas yang beragam tersebut," kata Achmad dalam keterangannya.

SEMA itu juga disebut merupakan kemunduran dan menutup ruang bagi progresivitas dunia peradilan dalam menjamin hak-hak warga negara dari latar belakang yang beraneka ragam. 

Dalam pandangan Setara Institute, kewajiban negara dalam perkawinan antarwarga negara bukanlah memberi pembatasan atau restriksi, akan tapi menghormati dan melindungi pilihan masing-masing warga negara. 

"Kewajiban negara hanyalah mencatat perkawinan warga negara tersebut dan memberikan keadilan dalam layanan administrasi terkait," pungkas Achmad.

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Profil Muhamad Anugrah, Pemuda Bandung Uji Materi UU Perkawinan demi Cinta Beda Agama, .

 

Sumber: Tribunnews
Halaman 3/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved