Para Pahlawan telah mewariskan tanah air ini dengan keringat dan darah, tidak malukah kita jika kita hanya menghabiskan umur tanpa manfaat. Para Pejuang Negeri ini telah berjuang beratus tahun, siang dan malam, demi meraih perdamaian, tidak malukah jika kita sekarang malah sibuk bertengkar satu sama lain?
Ayat kedua:
“Dan engkau melihat manusia masuk ke dalam agama Allah secara berbondong-bondong”.
Secara spiritual, ini berarti bahwa, ketika wajah kebenaran telah ditampilkan nyata, orang segera menerimanya dengan segera, beramai-ramai, bergelombang-gelombang, berbondong-bondong.
Secara politis, agaknya begitulah juga watak manusia. Mereka cenderung mendekat kepada siapa yang tampak sedang memiliki kekuatan.
Dalam konteks negeri kita ini. Maukah kita sekarang berjuang memupuk keberhasilan, dalam bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, pertanian, tehnologi dan sebagainya.
Satu bidang menampakkan keberhasilan, maka tampaklah satu bintang yang bersinar, dan jika setiap bidang pada masanya mencapai keberhasilan, bukankah cahaya Indonesia semakin terang di dunia. Jika sudah demikian, sudah pasti dunia akan berbondong-bondong melihat Indonesia Raya ini.
Perjuangan ini tidak bisa dilakukan sendirian, Al-Mukminu lil mukmini kal bunyani yasyuddu ba’dhuhum ba’dho, sabda Rasulullah s.a.w yang menyatakan bahwa seorang mukmin dengan mukmin lain harus saling menguatkan satu sama lain, saling mendukung, bukan saling menjatuhkan, merasa paling baik, dan perbuatan-perbuatan bodoh lain yang akhirnya malah menghancurkan diri sendiri.
Ayat ketiga:
Artinya:
“Maka bertasbihlah, dengan memuji kebesaran Tuhanmu dan mintalah ampunan kepadaNya. Sungguh Ia maha menerima taubat”.
Futuh Makkah dan ayat ini, lebih dari semata catatan tentang kemenangan umat Islam, tapi adalah wujud pertolongan Allah. Sebaimana juga Kemerdekaan Republik Indonesia adalah berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.
Ingatkah kita tentang Raja Abraha yang perkasa tapi akhirnya tak berdaya atau kisah keangkuhan Fir’aun, juga pesan moral dalam kisah Titanic.
Seberapapun dahsyat capaian manusia, ia tetap kecil di tengah gelaran keagungan semesta. Lebih-lebih di depan penciptanya. Kita perlu memandang dan menempatkan setiap keberhasilan menurut hakikatnya.
Dengan begitu, kita bisa benar-benar menghayati apa makna keberhasilan dan untuk apa keberhasilan. Bukan untuk diburu setengah mati, diperebutkan dengan segala muslihat, lalu untuk dibanggakan ketika teraih, atau dikutuk ketika lepas, apalagi disalahgunakan ketika sudah tergenggam di tangan demi menuruti macam-macam nafsu hewani.
Demikian, wallahualam bishawabi. (lis/tulisan artikel HAbdul Harris Ridho, Lc)
Baca juga: 2 Contoh Naskah Khutbah Jumat Tema HUT ke 80 Hari Kemerdekaan Republik Indonesia
Baca juga: Makna Kemerdekaan dalam Pandangan Islam dan Alquran, Kisah Umar bin Khattab dan Para Nabi
Baca juga: Contoh Teks Doa Upacara Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80, Diperingati 17 Agustus 2025
Baca juga: Arti Wa Lanabluwannakum Bisyaiin Minal Khaufi Wal Jui, Surat Al Baqarah Ayat 155