Liputan Khusus Tribun Sumsel

LIPSUS: Suku Anak Dalam Punya Android dan Mobil, Orang Rimba Menuju Modernisasi 1

Penulis: Rahmat Aizullah
Editor: Vanda Rosetiati
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Komunitas Adat Terpencil (KAT) Suku Anak Dalam (SAD) di Muratara ada yang telah berkomunikasi menggunakan android, dan memiliki mobil.

"Kebanyakan dari mereka sekarang sudah kekinian, sudah banyak yang punya handphone android, punya sepeda motor, ada televisi di rumahnya, ada yang punya mobil juga," kata tokoh pemuda pemerhati SAD, Supandri.

Dia menuturkan kelompok warga yang dulunya disebut 'Orang Rimba' tersebut kini juga bisa bersosialisasi dengan orang-orang selain dari komunitasnya. Mereka sudah berkehidupan seperti masyarakat pada umumnya, baik dari segi berpakaian, berinteraksi, dan lain-lain.

"Anak-anak mereka juga sudah ada yang sekolah, walaupun yang kecil-kecil masih banyak juga ikut orangtuanya di hutan nyari berondolan, kasihan yang itu, pemerintah harus ambil alih mereka agar bisa sekolah," katanya.

Cari Makan Pindah-pindah

Warga SAD asal Desa Sungai Jernih, Kecamatan Rupit, sebenarnya sudah tinggal menetap di desa itu. Namun mereka mencari penghidupan di desa lain dengan cara berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. 

"Kalau rumah kami di Sungai Jernih, tapi kami tinggal di pondok-pondok ini dalam kebun sawit, memang pindah-pindah kami cari makan," kata warga SAD, Syarkowi dijumpai dalam areal perkebunan sawit di Desa Bina Karya (Sp5) Kecamatan Karang Dapo.

Dia mengaku mata pencaharian mereka sehari-hari memunguti biji sawit yang terlepas dari tandannya. Mereka menyebutnya berondolan, yakni mengumpulkan biji sawit yang berserakan setelah dipanen dari perkebunan milik perusahaan. 

"Kebunnya punya perusahaan, kami dikasih mungut berondolan untuk dijual, uangnya untuk beli makan, keperluan sehari-hari. Dulu kami dikasih, tapi sekarang kami sudah dilarang, sering ada sekuriti perusahaan mengusir kami," kata Syarkowi. 

Dia dan beberapa warga SAD lainnya tinggal di antara pepohonan sawit dengan mendirikan gubuk-gubuk terbuat dari terpal. Itulah tempat tinggal mereka untuk berlindung dari terik matahari dan hujan.

Jauh dari kata laik, hanya beralaskan tanah dengan atap dan dinding seadanya. Jika terjadi hujan, anak-anak mereka pastinya kedinginan, namun mereka mengaku sudah terbiasa dengan segala cuaca.

Pola hidup tidak sehat, ditambah lagi kondisi lingkungan yang kotor tentu bisa membuat mereka rentan terserang berbagai penyakit. Apalagi sumber air yang mereka gunakan untuk keperluan sehari-hari pun tergolong kotor. Mereka memanfaatkan air dari parit drainase perkebunan sawit. 

"Sudah biasa kami di sini pak, anak-anak kami tinggal di pondok ini juga. Dulu rombongan kami banyak di sini tapi, tapi karena sering diusir jadi sudah banyak yang pindah cari makan tempat lain. Kami tidak mencuri buah sawit, kami cuma ngambil berondolannya saja," ujarnya. 

Baca berita lainnya langsung dari google news

 

Berita Terkini