Cagar Budaya: Dikembangkan dan Dimanfaatkan

Dalam jangka menengah dan jangka panjang, sudah selayaknya tahapan pengembangan dan pemanfaatan memperoleh perhatian khusus.

Editor: Sri Hidayatun
dokumentasi
Masyarakat mengunjungi Gedung Koleksi Candi Bumiayu, Senin, 5 Agustus 2025. Kunjungan ini merupakan bagian dari pemanfaatan cagar budaya bagi ranah pendidikan 

Tentu mekanisme terkait dengan orang asing dan berbagai kepentingan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan kita yang mengatur hal tersebut.

Perizinan Pengembangan

Pada aspek lainnya, tentang mekanisme perizinan terdapat hal yang harus dilalui sebelum melakukan tindakan pengembangan terhadap cagar budaya.

Perizinan bisa dilakukan sesuai dengan peringkatnya ketika ditetapkan sebagai cagar budaya. Izin dari Bupati/Walikota untuk cagar budaya peringkat Kabupaten/Kota, Izin dari Gubernur untuk cagar budaya peringkat Provinsi, dan izin Menteri untuk cagar budaya peringkat Nasional.

Mekanisme di masing-masing tingkatan tersebut tentu mengikuti prosedur yang berlaku di wilayah pemerintahnya masing-masing.

Pemilik dan pihak yang menguasai cagar budayapun harus dilibatkan dalam pemberian perizinan sebelum dilakukan upaya pengembangan tersebut.

Kepemilikan merujuk pada status atau hak untuk memiliki dan mengendalikan sesuatu, baik itu barang, properti atau aset, baik secara fisik maupun hukum. Ini mencakup hak untuk menggunakan, memanfaatkan, dan mengalihkan kepemilikan tersebut, serta hak untuk mencegah orang lain menggunakan atau memanfaatkannya tanpa izin.

Banyak peraturan  mengatur mekanisme perizinan suatu kegiatan pengembangan pada benda, bangunan, atau situs yang dikuasai atas dasar kepemilikan. Jika diizinkan dapat dilaksanakan, namun jika tidak diizinkan oleh pemiliknya, maka tidak dapat dilaksanakan.

Dalam beberapa peraturan cagar budaya juga membahas tentang hak dan kewajiban pemilik cagar budaya. Pemilik cagar budaya mempunyai kewajiban untuk mengamankan dan memelihara cagar budaya yang dikuasainya.

Jika pemilik cagar budaya ini tidak menjalankan kewajibannya, maka organisasi di pemerintahan baik pusat maupun daerah dapat mengambil alih pelaksanaan pengamanan dan pemeliharaan cagar budaya tersebut.

Namun, segala pembiayaan yang timbul dari kegiatan tersebut ditanggung oleh pemilik atau yang menguasainya.

Sementara kegiatan pengembangan bukan hal yang wajib dilakukan oleh pemilik. 

Sifatnya malah menjadi hak dari pemilik untuk mengembangkan cagar budayanya.

Untuk hal ini maka pemilik yang akan melakukan tindakan pengembangan cagar budaya harus melalui prosedur yang berlaku pada kegiatan ini, seperti perizinan dan studi teknis sebelum pengembangan dilakukan.

Sumbangsih Cagar Budaya

Pengembangan cagar budaya ini diarahkan untuk memacu pengembangan ekonomi yang hasilnya akan digunakan untuk pemeliharaan cagar budaya tersebut.

Selain itu, pengembangan cagar budaya diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pada penjelasan awal sudah diterangkan bahwa cagar budaya dalam prosesnya baik saat pelindungan dan pengembangan sudah cukup menyerap sumber daya, baik pendanaan maupun waktu dan manusianya. 

Maka setelah itu, akan menjadi kesempatan agar cagar budaya juga berkontribusi memberikan sumbangsihnya untuk negara. Sumbangsih awalnya memang lebih banyak terkait pembentukan jati diri dan kebanggaan sebagai bangsa yang berperadaban tinggi.

Sumbangsih lainnya adalah saat banyaknya orang untuk hadir dan menikmati cagar budaya, maka mereka bersedia untuk mengeluarkan biaya untuk itu.

Peran pemasar atau pengelola cagar budaya dibutuhkan untuk lebih cerdas dalam memanfaatkan kesempatan tersebut agar sumbangsih cagar budaya terhadap peningkatan pendapatan negara dan masyarakat terwujud.

Pendokumentasian

Setiap kegiatan pengembangan cagar budaya harus disertai dengan pendokumentasi.

Pendokumentasian ini penting untuk memberikan gambaran kepada kita tentang awal mula cagar budaya tersebut sebelum dikembangkan, saat proses dilakukan kegiatan pengembangan dan pasca pengembangan itu selesai dilaksanakan saat awal, tengah dan akhir tahapan.

Dengan begitu semua rangkaian kejadian yang dialami cagar budaya dapat diketahui dan tercatat dengan baik.

Hal ini dibutuhkan agar jika terjadi sesuatu yang dianggap tidak tepat, maka akan mudah diketahui duduk permasalahannya dan cara menanggulangi permasalahan tersebut dengan baik.

Berdasarkan dokumentasi, kondisi cagar budaya dapat ditelusur ulang dan dikembalikan pada keadaan awalnya sebelum pengembangan dilakukan.

Hal ini dibutuhkan karena cagar budaya tidak ada penggantinya. Jika cagar budaya itu rusak atau hancur, hampir tidak mungkin mendapatkan yang serupa dengan itu. Mirip tapi tidak akan pernah sama.

Penelitian/Kajian

Pengembangan dapat dilakukan melalui langkah-langkah berupa penelitian, revitalisasi dan adaptasi. Penelitian harus dilakukan pada setiap rencana pengembangan cagar budaya.

Fungsinya untuk menghimpun informasi serta mengungkap, memperdalam, dan menjelaskan nilai-nilai budaya. Agar proses penelitian ini hasilnya maksimal, maka diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi.

Pertama, sumber daya manusia yang harus kompeten di bidang penelitian.

Artinya peneliti mempunyai kemampuan untuk melakukan mengumpulkan data, menganalisa, menguji hipotesa, membandingkan dengan berbagai referensi ilmu, menarik kesimpulan yang tepat, dan merekomendasikan formula pengembangan yang bisa dilaksanakan dengan benar.

Penelitian terdiri dari penelitian dasar dan penelitian terapan. Penelitian dasar dilakukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, dalam arti untuk bisa mendapatkan penjelasan yang lebih mendalam dan luas terhadap suatu objek cagar budaya.

Sementara penelitian terapan dilakukan untuk pengembangan teknologi atau tujuan praktis yang bersifat aplikatif.

Penelitian terapan bisa dilakukan seperti dalam proses percobaan menemukan formula yang cocok untuk bahan konservasi terhadap cagar budaya tertentu. Dengan berbagai tes di laboratorium maupun uji lapangan, bahan atau zat tertentu direkomendasikan efektif untuk mengawetkan cagar budaya dan dengan dampak efek samping yang minimal.

Penelitian terapan ini dinilai berhasil dengan baik. Berbagai penelitian ini dapat dilakukan sebagai bagian dari analisis dampak lingkungan atau jika berdiri sendiri.

Penyelenggara penelitian, baik di pemerintah pusat, pemerintah daerah atau lembaga independen diharapkan dapat menginformasikan dan mempublikasikan hasil penelitiannya kepada masyarakat luas, baik melalui jurnal ilmiah, berita popular, baik media cetak, daring, maupun visual.

Harapannya, sebuah hasil riset yang baik, harus bisa diterapkan pada cagar budaya dan dapat dilakukan oleh lebih banyak pemangku kepentingan secara mudah dan praktis.

Revitalisasi

Langkah pengembangan berikutnya adalah revitalisasi potensi Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya.

Tahapan ini dilakukan dengan memperhatikan tata ruang, letak tata, fungsi sosial, dan lanskap budaya asli berdasarkan kajian.

Revitalisasi dalam konteks kawasan cagar budaya bukan hanya memperbaiki fisik atau memulihkan struktur, tetapi juga menghidupkan kembali makna, fungsi sosial, dan keterhubungan budaya yang melekat pada situs tersebut.

Hal ini menuntut pendekatan integratif yang mempertimbangkan konteks historis, spasial, ekologis, dan sosial.

Penataan zona juga perlu dilakukan untuk memastikan keamanan kondisi objek.

Pada zona inti (core zone), misalnya, pada area yang mengandung nilai arkeologis/arkeometris paling tinggi seperti percandian dan sisa bangunan utama, perlindungan maksimal perlu diterapkan.

Sementara pada zona penyangga (buffer zone) yang menjaga keutuhan visual dan ekologis situs, arena ini bisa berfungsi sebagai ruang interpretasi dan transisi.

Selanjutnya, pada zona pengembangan (development zone), area ini bisa dimanfaatkan untuk fasilitas penunjang seperti museum, pusat informasi, ruang edukasi, dan ekonomi kreatif lokal.

Konektivitas antar zona juga perlu diberi akses penghubung yang ramah lingkungan, demikian juga dengan aksesibilitas dibuat inklusif tanpa merusak integritas situs.

Revitalisasi harus tetap mengikuti struktur spasial asli atau jejak arkeologis yang sudah teridentifikasi.

Penataan ulang elemen ruang tidak boleh memutus alur pemaknaan atau spiritual yang pernah hidup dalam budaya lokal. 

Kemudian, penyesuaian struktur baru (seperti kios atau fasilitas pengunjung) perlu diperhatikan agar tidak mendominasi atau mengganggu persepsi visual terhadap situs.

Revitalisasi harus memberi manfaat langsung dan tidak langsung kepada masyarakat lokal dalam berbagai aspek seperti edukasi situs sebagai laboratorium budaya untuk generasi muda, aspek ekonomi lokal dengan memberdayakan UMKM berbasis warisan budaya, serta aspek ritual dan tradisi dengan menghidupkan kembali fungsi spiritual atau kultural jika masih relevan, seperti festival budaya atau ziarah.

Selain itu, identitas kolektif juga menjadi aspek penting dengan menumbuhkan rasa bangga dan kepemilikan masyarakat terhadap warisan budayanya.

Kajian yang dilakukan harus bersifat multidisipliner. Ada kajian arkeologi dan sejarah, yaitu dengan menelusuri makna, bentuk dan perubahan situs dari masa ke masa.

Kajian sosial budaya yaitu dengan berusaha memahami relasi masyarakat dengan situs tersebut.

Kajian lanskap berfungsi untuk mengkaji unsur fisik dan simbolik dari lanskap yang ada. Selain itu juga melakukan kajian partisipasi masyarakat, yaitu dengan pendekatan dari bawah ke atas dengan menggali narasi lokal dan kearifan setempat.

Revitalisasi kawasan cagar budaya adalah proses yang multi-lapisan dan berkelanjutan, bukan hanya soal fisik, tapi juga menyangkut roh kultural dan identitas budaya.

Dengan mempertimbangkan tata ruang, fungsi sosial, dan lanskap budaya secara cermat berdasarkan kajian, kawasan tersebut bisa menjadi ruang hidup yang bermakna kembali — bukan sekadar monumen mati, tapi warisan yang hidup dan memberdayakan.

Revitalisasi diharapkan dapat menata kembali fungsi ruang, nilai budaya dan penguatan informasi tentang cagar budaya.

Setiap perubahan fungsi ruang situs cagar budaya harus dilakukan dengan perizinan, sesuai dengan skala peringkat cagar budaya, yaitu kabupaten/kota-provinsi atau nasional.

Proses pemberian izin ini dimaksudkan agar diketahui dengan jelas pelaksana kegiatan pengembangan, melakukan kajian sebelum melaksanakan pengembangan, dan mengikuti kaidah pengembangan yang sesuai dengan peraturan dan prosedur.

Adaptasi

Adaptasi bangunan cagar budaya dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masa kini dengan tetap mempertahankan ciri asli atau muka bangunan cagar budaya.

Sementara untuk situs dan kawasan harus memperlihatkan ciri asli lanskap atau permukaan tanah. Hal yang perlu diperhatikan adalah mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada cagar budaya, penambahan fasilitas disesuaikan dengan kebutuhan, mengubah susunan ruang dilakukan secara terbatas dan berusaha untuk mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli serta estetika lingkungan sekitarnya.

Ini merupakan bagian dari strategi pelestarian aktif agar cagar budaya tetap hidup, relevan, dan digunakan sesuai dengan era kekinian, tanpa mengubah nilai-nilai budaya dan sejarah yang terkandung di dalamnya.

Mempertahankan ciri asli pada bagian muka bangunan menjadi sebuah perhatian penting. Bagian fasad misalnya, menjadi elemen paling terlihat yang mencerminkan identitas historis bangunan.

Segala bentuk perbaikan atau adaptasi harus tidak mengubah tampilan fasad baik pada bahan, warna, bentuk jendela/pintu, dan detail ornamen. Jika perlu dilakukan pergantian bagian, digunakan material sejenis atau yang menyerupai aslinya.

Perubahan susunan ruang hendaknya dilakukan secara terbatas. Adaptasi ruang bagian dalam boleh dilakukan, tetapi sebisa mungkin tidak mengubah struktur utama seperti kolom, balok, atau dinding penyangga.

Sekat-sekat ruang tambahan yang dibutuhkan harus menggunakan bahan tidak permanen, sehingga mudah dibongkar atau diganti setiap diperlukan.

Penataan ruang baru harus menghormati pola ruang lama. Misalnya, tetap mempertahankan ruang utama atau ruang bernilai penting dan sakral.

Bila perlu menambah fungsi (misalnya kafe, galeri), penempatannya harus disesuaikan agar tidak merusak sirkulasi dan narasi sejarah bangunan.

Penambahan fasilitas modern saat ini sering menjadi sebuah kebutuhan penting.

Fasilitas modern seperti toilet, aksesibilitas penyandang disabilitas, sistem pencahayaan, ventilasi, dan pengatur suhu ruang boleh ditambahkan secara integratif dan reversibel, artinya bisa dibongkar tanpa merusak struktur asli.

Penambahan ini harus minim secara penampakan visual dan tidak menjadi fokus utama dalam ruang.

Tujuannya adalah untuk menciptakan lingkungan yang nyaman dan sehat bagi pengguna bangunan cagar budaya ini, namun tidak mendominasi penampakan pada ruang dalam bangunan.

Menjaga gaya arsitektur, konstruksi asli, dan estetika lingkungan tetap menjadi perhatian utama.

Adaptasi tidak boleh memaksakan gaya arsitektur baru yang kontras dengan bentuk aslinya. Bila perlu tambahan bangunan baru (misalnya ruang pamer), gaya dan skala harus menghormati bangunan utama dan tidak mendominasi.

Adaptasi juga dapat dilakukan pada situs dan kawasan cagar budaya. Adapun perhatian pokoknya adalah tetap menjaga ciri asli lanskap atau permukaan tanah.

Situs dan kawasan memiliki nilai spasial dan simbolik dalam lanskap budaya, misalnya susunan batu, orientasi lahan, dan pola vegetasi.

Bahkan dalam banyak kasus, pada situs atau kawasan cagar budaya tidak menutup kemungkinan masih adanya potensi temuan lain di dalamnya, baik berupa benda, struktur atau bangunan.

Sehingga perlu perhatian khusus dan penelitian terdahulu sebelum dilakukan kegiatan adaptasi.

Adaptasi harus menghindari pengerasan tanah berlebihan, penggalian, atau penambahan struktur permanen yang tidak sesuai. Upaya revegetasi atau penanaman vegetasi asli dianjurkan untuk memperkuat integritas lanskap.

Pemberlakuan zonasi dan penentuan fungsi ruang dalam suatu kawasan cagar budaya harus konsisten dilaksanakan.

Dalam adaptasi kawasan, perlu diterapkan zonasi konservasi, penyangga, dan pemanfaatan terbatas. Penambahan fungsi harus dirancang agar tidak mengganggu nilai visual dan makna simbolik kawasan tersebut.

Adaptasi dapat dilakukan dengan mempertahankan nilai-nilai yang ada dalam cagar budaya tersebut.

Nilai-nilai ini meliputi nilai sejarah seperti peristiwa penting, tokoh, atau perjalanan budaya yang melekat; nilai arsitektur seperti keunikan gaya, teknik konstruksi, dan material lokal; serta nilai sosial-budaya seperti keterkaitan dengan kehidupan masyarakat sekitar, fungsi ritual, atau identitas komunitas.

Prinsip kehati-hatian sebelum melakukan adaptasi perlu dilakukan.

Oleh karenanya, diperlukan sejumlah kajian sebelum melaksanakan kegiatan adaptasi. Berbagai kajian tersebut antara lain berupa kajian historis-arsitektural, kajian struktur bangunan dan bahan, studi kelayakan adaptasi fungsi, serta melakukan konsultasi dengan pakar pelestarian dan masyarakat lokal.

Pemanfaatan Cagar Budaya

Pernyataan bahwa "pemerintah, pemerintah daerah, dan setiap orang dapat memanfaatkan cagar budaya untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata" bersumber dari undang-undang nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya, khususnya pasal 85 ayat (1).

Berdasarkan aturan ini, pemanfaatan cagar budaya bermakna bahwa segala bentuk kegiatan yang menggunakan objek cagar budaya (benda, struktur, bangunan, situs, atau kawasan) tanpa merusak nilai penting yang melekat padanya.

Pemanfaatan ini harus tetap menjaga keaslian, integritas, dan kelestarian cagar budaya.

Pihak yang dapat memanfaatkan cagar budaya adalah pemerintah pusat melalui kementerian/lembaga seperti Kementerian Kebudayaan, dalam hal ini Balai Pelestarian Kebudayaan dan Badan Usaha Milik Negara; pemerintah daerah seperti provinsi/kabupaten/kota melalui dinas kebudayaan, dinas pariwisata, atau instansi teknis lainnya, termasuk Badan Usaha Milik Daerah.

Kemudian bisa juga dilakukan setiap orang mencakup masyarakat umum, pengusaha sektor swasta, komunitas budaya, pelaku seni, akademisi, pelajar/mahasiswa, pengelola wisata, investor, atau Lembaga Swadaya Masyarakat.

Pada pemanfaatan untuk kepentingan agama, cagar budaya yang memiliki nilai keagamaan seperti candi, masjid kuno, gereja tua, pura, vihara dapat digunakan untuk kegiatan ibadah sesuai fungsinya semula dengan ketentuan dan prosedur pelaksanaannya.

Sebagai contoh, umat Hindu masih melakukan persembahyangan di Candi Prambanan, Umat Budha di Candi Borobudur, Umat Islam di masjid agung demak, Umat Katholik di Gereja Katedral, dan Umat Protestan yang beribadah di Gereja Imanuel Gambir.

Terlihat bahwa hampir semua umat beragama memiliki tempat ibadah yang masuk dalam kategori cagar budaya.

Dahulu ada sebutan Living Monument dan Death Monument, namun saat ini pada bangunan cagar budaya death monument pun tetap bisa dipergunakan untuk ibadah sewaktu diperlukan, tetapi dengan prosedur tertentu, karena sudah banyak pemanfaatan lain yang melekat juga padanya, seperti wisata. Oleh sebab itu, perlu pengaturan oleh pihak yang berwenang, agar menjamin ketertiban pelaksanaannya.

Pemanfaatan sosial pada cagar budaya, digunakan sebagai tempat atau simbol berkumpulnya masyarakat dalam kegiatan tradisional, upacara adat, atau musyawarah warga.

Sebagai contoh alun-alun atau balai adat sebagai tempat pertemuan sosial dan perayaan tradisional.

Situs atau kawasan cagar budaya sering menjadi tempat masyarakat berkumpul menikmati kebersamaan dengan keluarga, kerabat, atau teman.

Berbagai aktivitas sosial dilakukan pada tempat tersebut seperti arisan, reuni, bermain, atau sekedar bersenda gurau.

Aktivitas sosial ini penting untuk mengeratkan hubungan kemasyarakatan agar tercipta rasa kebersamaan dan persatuan, modal besar untuk berkehidupan kenegaraan yang dapat dilaksanakan di ruang-ruang publik cagar budaya.

Cagar Budaya juga memiliki  manfaat untuk pendidikan. Cagar budaya sebagai  tempat belajar dan media pembelajaran sejarah dan budaya di sekolah atau perguruan tinggi.

Cagar budaya juga dapat dimanfaatkan untuk kunjungan edukatif, praktik arkeologi, atau kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler seperti kunjungan pelajar ke Situs Candi Bumiayu, Muarajambi, Benteng Kuto Besak, Museum Balaputradewa, Bukit Siguntang dan objek lainnya.

Pemanfaatan untuk ilmu pengetahuan juga dapat dilakukan dengan menjadi objek penelitian bagi arkeolog, sejarawan, antropolog, arsitek, dan ilmuwan lainnya.

Cagar budaya menyimpan data penting masa lalu yang bisa diungkap untuk memahami perkembangan peradaban manusia.

Banyak ilmu pengetahuan yang bisa didapatkan dengan memahami perkembangan peradaban masa lalu, seperti perkembangan gaya seni arca, keramik, tembikar, lukisan, koin-koin mata uang, arsitektur rumah tradisional dan bangunan era Islam dan kolonial, aneka manuskrip dan prasasti.

Semua ilmu pengetahuan yang terkandung dalam cagar budaya memang hanya mampu ditelaah dan dimengerti secara mendalam lewat berbagai disiplin ilmu.

Harapannya generasi saat ini mampu memetik manfaat keilmuan yang didapat dari tinggalan masa lalu.

Pemanfaatan cagar budaya yang terkait teknologi seperti pemanfaatan teknologi untuk pemindaian cagar budaya, baik yang berupa artefaktual atau Kawasan, konservasi digital, rekonstruksi 3 dimensi, pemetaan, sistem informasi cagar budaya, dan dokumentasi.

Teknologi canggih masa kini akan mampu untuk lebih mengenali hakikat masa lalu, yang dahulu belum dimengerti, namun saat ini menjadi lebih jelas.

Sebagai contoh penggunaan Analisa Karbon 14 dapat menghasilkan pertanggalan absolut pada suatu cagar budaya. Hal lain yang juga diungkap sebagai objek penelitian untuk teknologi masa lalu, seperti teknik bangunan candi, sistem drainase kuno, dan sebagainya.

Manfaat untuk kebudayaan dapat dipaparkan bahwa cagar budaya sebagai bagian tak terpisahkan dari ekspresi budaya lokal, baik dalam seni pertunjukan, kerajinan, kuliner, dan tradisi lisan.

Dapat juga digunakan untuk pelestarian tradisi, festival budaya, dan regenerasi nilai-nilai budaya lokal.

Cagar budaya menginspirasi gerakan baru dalam kebudayaan agar dapat dimanfaatkan untuk fungsi kekinian, sebagai kebanggaan masyarakat dan kebanggaan bangsa.

Cagar budaya juga dapat dijadikan objek wisata budaya untuk menarik wisatawan domestik dan mancanegara.

Dalam ranah pariwisata, objek utama yang dikunjungi itu bisanya tidak terlepas dari daya tarik alam dan daya tarik budaya.

Jika pengemasan ke dua daya tarik ini baik dan menarik, tentu akan mampu meningkatkan jumlah kunjungan dan menambah pendapatan untuk masyarakat dan negara.

Oleh karena itu pemanfaatan untuk pariwisata harus tetap memperhatikan prinsip pelestarian dan tata kelola yang berkelanjutan.

Misalnya, pengelolaan Borobudur sebagai destinasi wisata internasional dengan pembatasan jumlah pengunjung dan tata cara kunjungan dilakukan demi pelestarian.

Pada akhirnya, pengembangan cagar budaya harus dilakukan dengan prinsip pelestarian yang menjaga keaslian, integritas, dan nilai historisnya.

Kegiatan pengembangan dapat mencakup pemanfaatan untuk pendidikan, pariwisata, sosial, dan kebudayaan secara berkelanjutan.

Adaptasi dan revitalisasi diperbolehkan selama tidak merusak struktur atau makna budaya yang melekat.

Perencanaan harus berbasis kajian mendalam, melibatkan masyarakat, serta sejalan dengan regulasi seperti UU No. 11 Tahun 2010.

Dengan pendekatan ini, cagar budaya dapat menjadi aset warisan yang hidup dan bermanfaat bagi generasi kini dan mendatang.

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved