HUT ke 80 RI
Asal Usul Perahu Bidar Palembang yang Selalu Ada Saat HUT RI, Mulanya Untuk Patroli Kesultanan
Konon lomba ini diadakan pada zaman Putri Dayang Merindu, gadis cantik yang tinggal di bagian hulu kota Palembang pada ratusan tahun silam.
Penulis: Arief Basuki Rohekan | Editor: Slamet Teguh
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Sejarawan dan Budayawan Sumatera Selatan (Sumsel) Vebri Al Lintani mengungkapkan asal- usul perahu Bidar, yang menjadi tradisi setiap moment tertentu salah satunya, hari Kemerdekaan RI yang jatuh setiap tanggal 17 Agustus.
Diketahui, sejarah mengenai bidar bermula sejak tahun 1898, tepatnya ketika bulan agustus.
Perlombaan perahu bidar adalah perahu cepat tradisional bertenaga dayung.
Dahulu Kota Palembang dikelilingi 108 anak sungai dengan Sungai Musi sebagai induknya.
Untuk menjaga keamanan wilayah diperlukan sebuah perahu yang larinya cepat, Kesultanan Palembang lalu membentuk patroli sungai dengan menggunakan perahu.
Namun versi legenda sedikit berbeda.
Secara bahasa, bidar merupakan singkatan dari biduk lancar.
Konon lomba ini diadakan pada zaman Putri Dayang Merindu, gadis cantik yang tinggal di bagian hulu kota Palembang pada ratusan tahun silam.
Putri Dayung Merindu berasal dari keluarga kaya raya.
Ia mempunyai anak laki-laki bernama Dewa Jaya dan seorang kekasih bernama Kemala Negara.
Suatu hari, diadakan perlombaan bidar di lingkungan tempat tinggal Putri Dayung Merindu.
Ada dua pemuda yang ikut dalam perlombaan tersebut, yakni Dewa Jaya yang merupakan putranya dan Kemala Negara yang merupakan kekasihnya.
Perlombaan bidar diadakan untuk membuktikan rasa cinta kedua pemuda kepada Putri Dayung.
Namun sayang, perlombaan berakhir tragis.
Keduanya justru meninggal dunia usai menyelesaikan kompetisi bidar.
Putri Dayung Merindu harus kehilangan dua orang yang sangat dicintainya.
Sehingga Putri Dayung Merindu pun menancapkan pisau di dadanya.
Pisau yang sudah diolesi racun sebelumnya itu membuat ia meregang nyawa.
Seluruh penduduk pun menghormati sikap Dayung Merindu yang berlaku adil kepada kedua pemuda tadi. Akhirnya, mereka pun menjadikan perlombaan bidar sebagai tradisi yang harus diadakan setiap tahun.
Lomba perahu Bidar sudah berlangsung sejak zaman Kesultanan Palembang Darussalam pada tahun 1898.
Lomba ini sering disebut wong doeloe dengan sebutan kenceran.
Pada saat itu lomba dibuat untuk perayaan ulang tahun Ratu Belanda, yaitu Wilhelmina. Perlombaan ini pun tidak hanya digelar saat memperingati hari ulang tahun ratu, tapi juga pesta yang digelar para pejabat pemerintahan Belanda.
Tradisi ini tetap lestari dan diadakan sebagai kebiasaan orang Palembang yang tinggal di aliran sungai Musi pada setiap perayaan penting.
Masyarakat menyebut lomba ini dengan nama kenceran atau Festival Perahu Tradisional yang biasanya diadakan saat peringatan hari jadi Kota Palembang setiap 17 Juni dan memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Perahu yang dilombakan setiap hari jadi Kota Palembang adalah perahu yang memiliki panjang 12,70 meter, tinggi 60 cm, dan lebar 1,2 meter.
Jumlah pendayungnya 24 orang, meliputi 22 pendayung 1 tukang timba air dan uniknya memiliki 1 jurangan atau orang yang bertugas untuk bersorak menyemangati pendayung lainnya.
Perahu Bidar yang lebih besar biasanya dilombakan pada saat memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
Perahu ini adalah jenis tradisional memiliki panjang 29 meter, tinggi 80 cm, dan lebar 1,5 meter. Jumlah pendayungnya lebih banyak yaitu 57 orang meliputi 55 pendayung, 1 jurangan, dan 1 tukang timba air
Bidar sekarang ini dikenal sebagai perahu cepat yang digunakan untuk perlombaan. Dimana jenis perahu ini biasanya dimunculkan dalam momen-momen khusus seperti upacara adat, perayaan Hari Kemerdekaan, dan lain-lain.
Lomba ini biasanya dilaksanakan di Sungai Musi, tepatnya di Dermaga Ferry sampai ke depan Benteng Kuto Besak. Perahu bidar memiliki panjang sekitar 24–30 m, lebar 75–100 cm dan tinggi 60–100 cm.
Lomba perahu bidar dilaksanakan dengan cara mendayung perahu secara cepat. Seni dayung yang berasal dari Palembang ini sudah ada sejak zaman dahulu, dan masih dilestarikan hingga sekarang.
Baca juga: 12 Tim Bakal Tampil di Festival Bidar Palembang HUT ke-80 RI, 60 Ribu Pengunjung Ditargetkan Hadir
Baca juga: Kapan Lomba Bidar di Palembang ? Berikut Jadwal dan Rangkaian Acaranya di Hut ke-80 RI
Perahu Bidar resminya sejak zaman pemerintahan Belanda pada saat itu lomba dibuat untuk perayaan ulang tahun Ratu Belanda, yaitu Wilhelmina.
"Jadi setelah pemerintahan Belanda itu, hampir setiap tahun dilaksanakan Bidar di Palembang, Bidar singkatan Biduk Lancar," kata Vebri, Jumat (15/8/2025).
Namun di massa Kesultanan, Bidar merupakan Perahu Pencalang (perahu yang dibuat satu pohon dilobangi tengahnya kecil jadi jalannya cepat), yang digunakan untuk mengontrol lalu-lintas Sungai yang bermuara ke Palembang.
"Sedangkan lomba (Bidar) kita lihat dalam penafsiran kita Ratu Wilhelmina itu bukan lomba, dan masyarakat sudah mengadakan lomba- lomba sebelum Belanda memperingatinya Ratu Wilhelmina. Artinya, sudah lama bidar di Sungai Musi diperkirakan sejak kerajaan Sriwijaya, " ucapnya.
Lalu disisi legenda, tentang Putri Dayung Merindu yang diperebutkan bangsawan Palembang sama Huluan Palembang, daerah sekitar Ogan ada beberapa versi menurut legenda.
"Ada beberapa versi putri ini bilang berasal dari Ogan ada juga dari Tanjung Enim, ya namanya legenda, " ucapnya.
Diterangkan Vebri, dalam cerita yang tersebar jika Putri Dayung Metindu saat itu lagi nyuci, tempat nyucinya ngayut dan ditemukan bangsawan Palembang, dan dilihatnya Putri Datang itu cantik dan mau dilamar tapi sayang, Putri Dayung saat itu sudah terikat dengan bujang setempat, " paparnya.
Jadi singkat cerita menurut Vebri, ada perebutan antara kedua pemuda itu, dan disepakati ada lomba bidar, tetapi kemudian mereka tidak ada kalah dan menang sama kuat. Akhirnya Dayang karena diperebutkan membelah tubuh kepala di Palembang dan Badan itu legenda.
"Itulah fakta asal usul Bidar, jadi dari sisi budaya sumber pusaka catatan Belanda dan cerita kisah rakyat kita, " ungkapnya.
Ditambahkan Vebri, terdapat juga ritualnya dulu sebelum diterjemakan Prasasti Kedukan Bukit apa maknanya, sehingga banyak pelaku Bidar saat itu datang ke situ karena dianggap jimat dan menambatkan perahu disana, harapannya perahunya akan lebih cepat tenaga pendayung lebih kuat.
"Secara gaib masyarakat berkeyakinan saat itu, ada yang dorong dari bawah perahu Bidar yang disebut mitos Palembang, Raden Toka (dipercaya wara Pemulutan menyerupai buaya). Jadi secara gaib ada yang mendorong dari bawah,dan itu dulu dilakukan di Palembang," terangnya.
Dilanjutkan Vebri, pada kapal Bidar dahulu tidak ada ornamen atau ukiran tertentu sebagai ciri khas Bidar karena berasal dari sebatang pohon yang dibolongi di tengah, dan berbentuk lancip didepannya yang cenderung untuk cepat.
"Nah, untuk lancip didepan itu untuk lebih cepat saja perahu Bidarnya, kalau lainnya (ornamen) tidak ada, " tandasnya.
Perahu Bidar menurut Vebri, jika dulu untuk kontrol di perairan sungai Musi, namun sekarang sebagai simbol gotongroyong.
"Jadi dalam proses pelaksanaan dulu sangat ramai, kalau ada pelaksanaan Bidar setiap tanggal 17 Agustus itu pasti sungai Musi itu penuh dan padat masyarakat, baik dari pemerintah Palembang maupun dari sekitar Palembang, seperti Ogan Ilir, Banyuasin dan sebagainya datang semua, " capnya.
Namun diungkapkan Vebri, 10 tahun belakangan ini lomba Bidar itu ia melihatnya tambah lama tambah lesu, atau kurang bergairah karena nama perahu Bidarnya diambil nama perusahaan, seperti Bidar Pusri, Bidar PTBA dan sebagainya.
"Selain itu pelaksanaannya juga seringkali kita dengar, kurang fair play dimana yang menang sudah ditentukan dan sebagainya, yang membuat Bidar kurang bergairah, " tandasnya.
Dijelaskan Vebri, seharusnya Bidar itu milik masyarakat, meski harganya Bidar itu cukup mahal dengan kisaran Rp 50-60 juta per unit, menjadikan masyarakat kurang mampu.
"Tetapi seharusnya, kalau masih ada semangat gotong royong hal itu tidak terlalu susah, misal satu Kecamatan mau bikin satu Bidar selain dibantu subsidi sedikit pemerintah juga gotong royong masyarakat, sehingga ada merasa memiliki perahu Bidar itu, " capnya.
Maka dari, Bidar ini haruskah dikembalikan ke masyarakat dan komunitas dibawah, baik tingkat Kecamatan atau Kelurahan, pastinya akan ada semangat gotongroyong dengan rasa memilikinya.
"Bidar simbol kegotongroyongan, karena dilakukan 55 sampai 60 orang, artinya harus bekerjasama dalam mendayung Bidar, selain proses pembuatan Bidar yang melibatkan masyarakat. Seharusnya perusahaan hanya mensponsori saja tapi Bidarnya tetap dikembalikan ke masyarakat dan setiap Kecamatan mutlak ikut, dan jadi seru karena masyarakat merasa memiliki dan bisa menyumbang untuk melaksanakannya," pungkasnya.
Baca berita Tribunsumsel.com lainnya di Google News
Ikuti dan bergabung dalam saluran whatsapp Tribunsumsel.com
Gebrak Mimbar, Prabowo Ingatkan Pengusaha Serakah yang Tipu Rakyat saat Pidato di Sidang MPR RI |
![]() |
---|
12 Tim Bakal Tampil di Festival Bidar Palembang HUT ke-80 RI, 60 Ribu Pengunjung Ditargetkan Hadir |
![]() |
---|
Kapan Lomba Bidar di Palembang ? Berikut Jadwal dan Rangkaian Acaranya di Hut ke-80 RI |
![]() |
---|
39 WBP Lapas Lubuklinggau Langsung Bebas Saat HUT ke-80 RI, Didominasi Napi Kasus Pencurian |
![]() |
---|
Rangkaian Acara Festival Bidar Palembang HUT ke 80 RI, Final Digelar 17 Agustus 2025 Pukul 15.15 WIB |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.