Kasus Korupsi Wilmar Group

Mengenal Wilmar Group, Raksasa Sawit yang Kembalikan Dana Rp 11 Triliun di Kasus Korupsi Ekspor CPO

Wilmar Group, perusahaan sawit raksasa di yang terlibat dalam kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO), kembalikan uang negara Rp 11,88 triliun

Penulis: Aggi Suzatri | Editor: Kharisma Tri Saputra
Tribunnews.com/Reynas Abdila
UANG SITAAN WILMAR GRUP- Penampakan uang sitaan kasus korupsi ekspor CPO dari Wilmar Group saat ditampilkan oleh Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (17/6/2025). 

TRIBUNSUMSEL.COM- Wilmar Group, perusahaan sawit raksasa di yang terlibat dalam kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO).

Wilmar Group kembali menjadi sorotan publik usai lima anak usahanya resmi menjadi terdakwa dalam kasus dugaan korupsi ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng.
 
Hingga kini, nilai kerugian negara yang telah dikembalikan oleh Wilmar Group mencapai Rp 11,88 triliun, menjadikannya salah satu pengembalian uang negara terbesar sepanjang sejarah Indonesia.

Baca juga: Eks Ketua PMI dan Kadis PKAD Prabumulih Diperiksa Kejari Terkait Dugaan Korupsi Dana Hibah PMI


Selain menyita uang triliunan rupiah, Kejagung juga telah menetapkan delapan orang sebagai tersangka dalam perkara ini, termasuk dari pihak korporasi, pengacara, hingga hakim yang diduga menerima suap.
 
Siapa pemilik dan produk apa saja yang diproduksi perusahaan ini pun ramai dicari dan menjadi trending.

Melansir dari Kompas.com, Wilmar Group merupakan perusahaan multinasional di sektor agribisnis dan minyak sawit yang didirikan pada 1991 oleh dua pengusaha besar: Kuok Khoon Hong dan Martua Sitorus. 

Perusahaan pertama mereka adalah Wilmar Trading Pte Ltd di Singapura, yang saat itu hanya memiliki lima karyawan dan modal awal sebesar 100.000 dollar Singapura.
 
Tak lama kemudian, Wilmar mendirikan perkebunan kelapa sawit pertamanya di Sumatera Barat seluas 7.000 hektar melalui PT Agra Masang Perkasa (AMP). 

Ekspansi kilang dan akuisisi pabrik terus dilakukan di berbagai daerah seperti Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Selatan.
 
Pada awal 2000-an, Wilmar mulai memasarkan minyak goreng merek sendiri, seperti Sania. 

Pada 2005, mereka mengakuisisi PT Cahaya Kalbar Tbk, produsen lemak dan minyak khusus untuk industri makanan. 
Lalu, pada 2006, Wilmar Trading Pte Ltd berganti nama menjadi Wilmar International Limited dan melantai kembali di Bursa Singapura.

Saat ini, Wilmar Group menjadi salah satu pemain utama dalam industri kelapa sawit global. 

Baca juga: Periksa 70 Saksi, Kejari Prabumulih Segera Tetapkan Tersangka Kasus Dugaan Korupsi Dana Hibah PMI

Hingga 31 Desember 2020, total lahan tanam yang dimiliki mencapai 232.053 hektar, dengan 65 persen berada di Indonesia. 

Lokasi perkebunan mencakup Sumatera, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Sisanya tersebar di Malaysia, Uganda, dan Afrika Barat.
 
“Di Indonesia, perkebunan kami berlokasi di Sumatera, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah (wilayah selatan), sedangkan di Malaysia berada di Sabah dan Sarawak,” tulis Wilmar dalam laporan resminya yang dikutip Rabu (18/6/2025).

Wilmar juga mengelola lebih dari 35.000 hektar lahan di bawah skema petani kecil serta bekerja sama dengan mitra petani di Afrika dan Indonesia.

Selain memproduksi minyak sawit mentah, Wilmar adalah produsen minyak nabati kemasan terbesar di dunia. 

Di Indonesia, produk seperti Sania, Fortune, Siip, dan Sovia adalah merek-merek minyak goreng yang berasal dari Wilmar.

Tak hanya itu, Wilmar juga memiliki lini bisnis pangan lain, seperti beras, tepung, mie, hingga bumbu masak. 
Bahkan di sektor pupuk, Wilmar termasuk salah satu pemain terbesar di Indonesia dengan kapasitas produksi 1,2 juta metrik ton per tahun.

Terlibat Kasus Korupsi 

Kejaksaan Agung menyita uang senilai Rp 11,8 triliun dari Wilmar Group terkait kasus dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO). 

Penyitaan ini menjadi yang terbesar dalam sejarah penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia.

Ruang Bundar di Gedung Jampidsus Kejaksaan Agung seketika berubah menjadi lautan uang.
 
Dalam kasus dugaan korupsi ekspor crude palm oil (CPO), lima perusahaan di bawah bendera Wilmar Group menyerahkan uang negara yang dikorupsi sebesar Rp 11.880.351.802.619.

Dari jumlah fantastis itu, Rp 2 triliun dihadirkan langsung dalam bentuk tunai ke ruang konferensi pers.

Menurut Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung, Sutikno, dana Rp 11,8 triliun itu dikembalikan langsung oleh lima terdakwa korporasi dan langsung disita oleh penyidik, lalu dimasukkan ke rekening penampungan Jampidsus.

Jumlah tersebut telah diverifikasi sebagai kerugian negara oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan akan menjadi bagian dari memori kasasi yang kini berproses di Mahkamah Agung.

“Kerugian itu terdiri dari kerugian keuangan negara, illegal gain, dan kerugian perekonomian negara. Totalnya mencapai Rp 11.880.351.802.619,” kata Direktur Penuntutan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirtut Jampidsus), Sutikno, dikutip dari pemberitaan Kompas.com.

Kelima entitas Wilmar yang menjadi terdakwa adalah:

  • PT Multimas Nabati Asahan 
  • PT Multinabati Sulawesi 
  • PT Sinar Alam Permai 
  • PT Wilmar Bioenergi Indonesia 
  • PT Wilmar Nabati Indonesia 

Pada 19 Maret 2025, Majelis Hakim memutuskan vonis lepas (ontslag van alle rechtsvervolging) kepada tiga korporasi terdakwa, yakni Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. 

Majelis hakim menyatakan bahwa perbuatan para terdakwa terbukti, namun bukan merupakan tindak pidana, alias ontslag van alle rechtsvervolging.
 
Namun Kejaksaan tetap menuntut agar para terdakwa membayar denda dan uang pengganti. PT Wilmar Group dituntut membayar denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 11,88 triliun. 

Bila tak dibayar, harta Direktur Tenang Parulian bisa disita, dan jika masih kurang, ia bisa dipenjara hingga 19 tahun. 

Permata Hijau Group dituntut denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 937,5 miliar. 

Bila tak dibayar, harta milik David Virgo—pengendali grup—akan disita. Jika tidak cukup, David terancam 12 bulan penjara. 

Musim Mas Group dituntut denda Rp 1 miliar dan uang pengganti Rp 4,89 triliun. 

Bila gagal dibayar, aset Ir. Gunawan Siregar dan jajaran pengendali lain akan disita. Jika tidak mencukupi, mereka bisa dipenjara 15 tahun.

Para terdakwa diyakini melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dengan bukti yang begitu nyata dan uang setinggi tembok itu, publik kini menanti: apakah keadilan hanya akan berhenti di atas meja konferensi pers, atau benar-benar akan ditegakkan hingga ke akarnya.

Kejaksaan Agung juga menyidik dugaan suap dalam proses hukum perkara ini. 

Hingga kini, terdapat delapan tersangka yang ditetapkan: 
Muhammad Syafei, Social Security Legal Wilmar Group 

Muhammad Arif Nuryanta, Ketua PN Jakarta Selatan 

Wahyu Gunawan, Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara 

Kuasa hukum korporasi: Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri 

Tiga hakim perkara ekspor CPO: Djuyamto (Ketua Majelis), Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom
 
Kejaksaan menduga terjadi suap sebesar Rp 60 miliar kepada Muhammad Arif Nuryanta saat masih menjabat Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.

Selain itu, tiga hakim perkara diduga menerima suap Rp 22,5 miliar untuk menjatuhkan vonis lepas kepada para terdakwa korporasi.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Wilmar Group Milik Siapa? Ini Profil Raksasa Sawit yang Kembalikan Dana Rp 11 Triliun di Kasus Korupsi Ekspor CPO"

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved