Seputar Islam
Hukum Jasa Titip atau Jastip dalam Islam, Ketahui Apa yang Diperbolehkan dan Mana yang Diharamkan
transaksi jastip yang sah harus didasarkan pada kejelasan informasi dan kesepakatan, tanpa ada pengambilan keuntungan yang tidak wajar
Penulis: Lisma Noviani | Editor: Lisma Noviani
TRIBUNSUMSEL.COM -- Jastip singkatan dari kata jasa titip. Di zaman sekarang, jastip telah menjadi sumber mata pencaharian baru yang dilakoni banyak orang.
Lalu bagaimana islam memandang bisnis jastip ini. Apakah hukumnya? Berikut penjelasannya.
Jastip merupakan layanan di mana seseorang meminta bantuan orang lain untuk membeli barang yang sulit ditemukan di suatu tempat, biasanya barang dari luar negeri, atau khas daerah lain dan kemudian membayar biaya lebih untuk jasa tersebut.
Apakah jastip diperbolehkan dalam Islam?
Pengertian jastip dari sisi syar’i berbeda-beda sesuai dengan model jastip tersebut dan akad yang dilaksanakan. Jastip bisa dikatakan sebagai Al-Wakalah bil Ujrah (mewakilkan seseorang untuk membeli sesuatu dengan memberikannya upah), bisa juga dikatakan sebagai akad jual beli, dan bisa juga dikatakan sebagai jual beli yang digabung dengan utang piutang.
Dikutip dari laman rumahzakat.org, Dalam Islam, jual beli dianggap sah jika memenuhi dua syarat utama, yaitu adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli dan transaksi yang dilakukan tidak mengandung unsur ketidakjelasan (gharar) atau riba.
Selain itu dalam dalil hadits, syarat jual beli adalah:
“Perdagangan itu hanya boleh dilakukan dengan kerelaan dari kedua belah pihak” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam praktik jual beli yang sah, kedua belah pihak harus menyepakati barang atau jasa yang diperjualbelikan serta harga yang ditetapkan tanpa adanya unsur penipuan.
Konsep ini memberikan gambaran bagaimana transaksi harus dilakukan dengan adil dan transparan, tanpa ada pihak yang merasa dirugikan.
Dalam praktik jastip, seseorang membeli barang atas permintaan orang lain dengan harga yang disepakati, dan selanjutnya mendapat tambahan biaya sebagai jasa atau biaya pengantaran.
Jika jastip dilakukan dengan cara yang transparan dan tanpa adanya unsur penipuan atau ketidakjelasan dalam transaksi, maka dari itu, hal tersebut bisa dianggap sah.
Contoh sederhananya sebagai berikut, dikutip dari laman muslim.or.id
B sedang berada di luar kota, kemudian A meminta B untuk membelikan baju di daerah sana. A berkata kepada B, “Tolong belikan saya baju yang bagus di daerah sana, uangnya akan saya transfer sekarang juga. Silahkan beli dengan menggunakan uang saya. Sebutkan berapa harga bajunya dan uang yang engkau butuhkan, saya akan tambahkan.” Harga bajunya Rp.100.000 ditambah dengan jasanya Rp.10.000. Sehingga A membayar kepada B Rp.110.000.
Ini adalah akad yang diperbolehkan, dan akad seperti ini adalah akad yang paling aman dalam jastip. Yaitu, pembeli membayar uang di muka, tidak menggunakan uang yang diwakilkannya. Sehingga ada dua hal yang dapat digaris bawahi pada akad ini:
Pertama: Uang diberikan di muka, tidak mengutang.
Kedua: Upah yang diberikan pun berada di muka sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
Atau contoh lain:
Penyedia jastip membeli barang terlebih dahulu, sehingga kedudukannya bukan menjadi wakil bagi pembeli, namun nantinya seperti penjual. Gambaran sederhananya sebagai berikut,
sedang berada di luar kota, ia mengatakan kepada A, “Saya sedang berada di luar kota, maukah engkau membeli barang ini dan itu. Kalau mau saya belikan dulu, kalau cocok silahkan dibeli, kalau tidak cocok tidak apa. Kemudian nanti bayarnya pas kita ketemu saja.”
Akad seperti ini pun akad yang diperbolehkan, karena hal ini sama saja dengan jual beli.
Hal yang Harus Diwaspadai
Namun, masalah dapat muncul jika ada unsur gharar (ketidakjelasan) atau penipuan, misalnya seperti pembeli tidak mengetahui harga barang yang sebenarnya atau ada biaya yang tidak sesuai dengan perjanjian.
Maka dari itu, transaksi jastip yang sah harus didasarkan pada kejelasan informasi dan kesepakatan antara kedua belah pihak, tanpa ada pengambilan keuntungan yang tidak wajar.
Pandangan Ulama tentang Jastip
Pandangan ulama mengenai jastip beragam, tergantung pada bagaimana mereka memandang transaksi tersebut dilakukan.
Beberapa ulama memperbolehkan jastip selama memenuhi prinsip-prinsip keadilan dan keterbukaan dalam transaksi, jadi tidak ada hal yang disembunyikan atau menyalahi aturan.
Namun, ada juga ulama yang menyarankan untuk berhati-hati, terutama terkait dengan kemungkinan adanya unsur gharar atau riba.
Mereka mengingatkan agar kita selalu memastikan bahwa transaksi dilakukan dengan penuh kejujuran, harga yang disepakati sudah jelas, dan tidak ada unsur penipuan yang merugikan pihak manapun.
Itulah penjelasan hukum jasa titip atau Jastip dalam Islam, semoga bermanfaat. (lis/berbagai sumber)
Baca juga: Marhaban Ya Ramadan atau Ahlan Wa Sahlan Ya Ramadan Ucapan Mana yang Lebih Tepat Saat Sambut Ramadan
Baca juga: Makna Dahsyat Mengucapkan Marhaban Ya Ramadhan, Penjelasan KHM Quraish Shihab, Bukan Sekadar Ucapan
Baca juga: Hukum Bermaaf-maafan Jelang Puasa Ramadhan dan Dalilnya, Betulkan Membuat Khusyuk dan Hati Tenang?
Baca juga: Hukum Ziarah Kubur Akhir Bulan Syaban Jelang Ramadan 1446 H/2025, Penjelasan UAS
hukum jasa titip dalam islam
hukum jastip dalam islam
jastip menurut hukum islam
akad jastip dalam islam
Tribunsumsel.com
Tribunnews.com
dalil perdagangan dalam islam
Bacaan Doa Selesai Tahlil, Lengkap Tulisan Arab, Latin dan Terjemahannya |
![]() |
---|
Niat Qodho Sholat 5 Waktu, Subuh Sampai Isya, Teks Arab Latin dan Terjemahan |
![]() |
---|
Surat Al Kahfi 1-10, Amalan Malam dan Hari Jumat, Berikut Keutamaan Mengamalkan |
![]() |
---|
Cara Mengirim Yasin untuk Orang yang Sudah Meninggal Latin dan Artinya |
![]() |
---|
Bacaan Surah Yasin Ayat 1-83 Arab dan Latin Mudah Dibaca |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.