Berita BPK Wilayah VI
Menjalin Benang Asa Pelestari Perlung
Bagi masyarakat Besemah, perlung tak hanya sebatas kerajinan semata, melainkan sebuah refleksi kekayaan budaya leluhur yang menghidupi sekat-sekat keb
TRIBUNSUMSEL.COM -- Bagi masyarakat Besemah, perlung tak hanya sebatas kerajinan semata, melainkan sebuah refleksi kekayaan budaya leluhur yang menghidupi sekat-sekat kebudayaan masa kini.
Kain-kain berwarna merah, hitam, dan emas terbentang di atas pangkuan Mala (40). Kain-kain tersebut adalah perlung, kain tenun yang dibuat oleh masyarakat Besemah yang bermukim di Kabupaten Lahat dan Kota Pagar Alam. Meski bukan pewaris genetik, kain-kain ini mampu memikat Mala untuk menyelami cara pengolahannya secara lebih detail guna memberi hasil optimal.
Sri Amala Dewi atau kerap dipanggil Mala adalah pengrajin perlung yang tinggal di Desa Rambai Kaca, sebuah desa yang terletak di perbatasan Kabupaten Lahat dan Kota Pagar Alam. Bagi Mala, perlung adalah warisan budaya nan menghidupi. Melalui perlung, ia membuka kesempatan untuk membangun pondasi ekonomi berbasis warisan budaya.
Di tengah langkanya penenun perlung, ia sanggup memenuhi permintaan, yang sebagian besar berasal dari kenalan atau sanak saudara. “Membuat perlung ini selain untuk melestarikan warisan budaya, bisa juga meningkatkan ekonomi keluarga. Apalagi saya seorang ibu rumah tangga. Untuk mengisi waktu, saya bisa nenun dan menjualnya dengan harga tinggi,” ucapnya.
Ibu Mala bukanlah seorang yang mewarisi keahlian menenun dari orang tuanya. Ia bahkan baru belajar menenun sekitar satu setengah tahun yang lalu. Kala itu, ia mendapatkan tawaran dari Pemerintah Kota Pagar Alam untuk mengikuti pelatihan menenun perlung. Tanpa ragu, Mala menerima tawaran tersebut. “Waktu itu saya dan dua belas orang peserta lain ikut pelatihan nenun yang diadakan oleh Pemerintah Kota Pagar Alam,” tuturnya.
Ukiran tradisional
Perlung memang unik. Seluruh motifnya bersumber dari ukiran yang terpatri pada Ghumah Baghi, rumah tradisional Suku Besemah. Setiap motif mengandung makna filosofis mendalam yang mencerminkan kehidupan masyarakat lokal.
Perlung yang dibuat Mala memiliki beragam motif, mulai dari Pucuk Rebung, Ipang Bajek, Mate Punai, dan Bunga Kunyit. Menurut Mala, masih banyak motif-motif perlung yang belum dieksplorasi karena ketiadaan informasi. “Mungkin motif itu banyak kalau kita gali lagi, yang kita tahu tentang motif perlung ini ibarat hanya seujung kuku saja,” lanjutnya.
Membuat sebuah perlung membutuhkan waktu sekitar satu bulan. Sembari bercerita, Mala memperlihatkan keahliannya dalam menenun. Dengan telaten ia menjalin benang demi benang. “Membuat perlung itu perlu waktu satu bulan, tapi kalau kita lembur hanya dua minggu. Bangun tidur langsung nenun. Tapi menenun itu tidak boleh terlalu lama. Mesti setiap dua jam berhenti,” ujarnya.
Mala paham betul bahwa melestarikan perlung bukanlah perkara mudah. Ia sadar bahwa kehadiran pemerintah menjadi faktor yang krusial dalam upaya pelestarian perlung. Melalui sinergi, diharapkan pelestarian perlung dalam bingkai pemanfaatan warisan budaya dapat terwujud.
Upaya pelestarian
Pemerintah Kota Pagar Alam telah membangkitkan kembali kekayaan wastra tanah Besemah melalui program pelatihan menenun perlung. Inisiatif tersebut diharapkan dapat memunculkan minat masyarakat untuk mengenal warisan leluhurnya. Namun, masih banyak aspek yang perlu dibenahi, terutama dalam hal memastikan keberlanjutannya. Sebagai pemangku kebijakan, para pewaris kerajinan ini berharap pemerintah Kota Pagar Alam dapat merumuskan kebijakan yang mendukung pembangunan ekosistem kebudayaan yang berpihak pada pelestarian perlung.
Menurut The UNESCO Framework for Cultural Statistics, ekosistem budaya dapat mencakup creation (penciptaan), production (produksi), dissemination (penyebaran), exhibition/reception (pameran/penerimaan), dan consumption/participation (konsumsi/partisipasi). Semua elemen tersebut saling terkait dan membentuk satu kesatuan yang utuh.
Pembentukan ekosistem dalam upaya melestarikan perlung harus mampu mengakomodasi seluruh elemen tersebut. Pada elemen penciptaan, misalnya, dapat dilakukan dengan membentuk komunitas pelestari perlung dan melakukan kaderisasi generasi muda yang tertarik mempelajari perlung. Pada tahap produksi, perlu dilakukan pemberdayaan penenun melalui penyediaan modal dan bahan baku. Sementara pada tahap diseminasi informasi, perlu dilakukan perluasan jangkauan konsumen melalui berbagai media digital.
Pada aspek berikutnya, yakni eksibisi, dapat dilakukan dengan meningkatkan eksposur perlung pada berbagai pameran budaya, baik skala lokal, nasional, maupun internasional. Terakhir, pada tahap partisipasi, dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menggunakan perlung sebagai simbol identitas budaya Besemah. Peningkatan kesadaran ini dapat dilakukan melalui sektor pendidikan, atau secara langsung menyentuh masyarakat di akar rumput pada setiap desa.