OPINI

Media Sosial dalam Pilkada 2024: Dialog Terbuka atau Polarisasi?

Dengan lebih dari 191 juta pengguna aktif di Indonesia (We Are Social, 2023), media sosial memungkinkan pesan kampanye menjangkau jutaan pemilih. 

Editor: Weni Wahyuny
Dokumentasi pribadi
M.H. Thamrin Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Unsri 

Oleh: Dr. M. H. Thamrin
(Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Unsri)

TRIBUNSUMSEL.COM - Pilkada serentak 2024 telah memasuki tahap kampanye, dan media sosial menjadi panggung utama bagi calon kepala daerah untuk berinteraksi dengan pemilih. 

Di Sumatera Selatan dan daerah lainnya, media sosial memungkinkan paslon menjangkau audiens yang lebih luas secara cepat dan efektif. 

Namun, platform ini juga memunculkan tantangan serius, mulai dari penyebaran informasi palsu hingga polarisasi publik. 

Selain itu, strategi kampanye paslon kini harus lebih matang, termasuk melibatkan peran penting konsultan komunikasi dalam menghadapi risiko manipulasi konten dan disinformasi.

Media Sosial: Kecepatan dan Risiko Manipulasi

Media sosial seperti Facebook, Twitter (kini X), Instagram, dan TikTok memungkinkan penyebaran visi, misi, dan program para calon dengan cepat dan luas. 

Dengan lebih dari 191 juta pengguna aktif di Indonesia (We Are Social, 2023), media sosial memungkinkan pesan kampanye menjangkau jutaan pemilih. 

Namun, kemudahan ini juga membawa risiko, yakni konten kampanye yang mudah dipotong atau dipelintir, yang kemudian disebarluaskan dalam bentu yang menyesatkan.

Konten yang sengaja dimanipulasi sering digunakan  dalam disinformasi untuk menjatuhkan lawan politik. 

Akibatnya, para calon harus berhati-hati dalam setiap pernyataan publik yang mereka buat, karena potongan video atau teks bisa saja disalahgunakan oleh pihak lain.

Echo Chambers dan Polarisasi Pemilih: Antara Realitas dan Ilusi

Salah satu masalah  yang sering muncul di media sosial adalah fenomena echo chambers. 

Apa yang dimaksud dengan echo chambers? 

Ini adalah kondisi di mana pengguna media sosial hanya terpapar pada informasi yang mendukung pandangan mereka sendiri. 

Akibatnya mereka terjebak dalam ruang tertutup yang memperkuat keyakinan tanpa pernah mendengar pandangan lain. 

Fenomena ini bisa sangat berbahaya dalam konteks Pilkada, di mana para pemilih sseolah-olah mendukung calon tertentu tanpa benar-benar mempertimbangkan informasi yang obyektif dan berimbang.

Banyak yang berpendapat bahwa media sosial memperkuat echo chambers, di mana pemilih hanya terpapar pada informasi yang sejalan dengan pandangan mereka. 

Penelitian dari Petter Tornberg (2018) menunjukkan bahwa echo chambers mempercepat penyebaran misinformasi, memperparah polarisasi antara kelompok pendukung calon (Törnberg, 2018). 

Ketika suatu kelompok sudah percaya pada narasi tertentu, informasi yang mendukung pandangan tersebut akan dengan mudah menyebar secara viral, meski belum tentu akurat. Ini menyebabkan kesalahpahaman semakin meluas dan memperdalam polarisasi antar kelompok pendukung calon (Tornberg, 2018).

Namun, kritik terhadap konsep ini juga perlu diperhatikan. Axel Bruns, dalam bukunya Are Filter Bubbles Real? (2019), menantang pandangan bahwa echo chambers sepenuhnya membatasi pengguna dari pandangan berbeda. 

Menurut Bruns, meskipun pengguna cenderung berinteraksi lebih sering dengan konten yang sejalan dengan pandangan mereka, hal ini tidak berarti mereka terisolasi dari perspektif yang berbeda. 

Ia menyebut fenomena echo chambers sebagai ilusi yang sering kali dilebih-lebihkan, karena pada kenyataannya, pengguna media sosial juga sering terpapar pada beragam sudut pandang, bahkan yang berlawanan dengan keyakinan mereka (Bruns, 2019).

Kritik Bruns ini menunjukkan bahwa media sosial tidak secara otomatis menciptakan ruang tertutup yang memperkuat polarisasi. 

Alih-alih hanya menyebarkan konten yang sesuai dengan keyakinan pemilih, media sosial juga menyajikan informasi dari berbagai sumber. 

Meski begitu, pengguna cenderung memilih untuk berinteraksi lebih intens dengan informasi yang mendukung pandangan mereka.

Disinformasi: Ancaman Bagi Kampanye dan Strategi Komunikasi

Selain berdampak pada pemilih, misinformasi dan disinformasi juga memiliki implikasi serius terhadap strategi kampanye para calon. 

Konten kampanye yang dimanipulasi atau dipelintir dapat menjadi senjata kampanye negatif yang efektif. 

Oleh karena itu, calon pemimpin perlu menata strategi komunikasi mereka dengan sangat hati-hati. 

Dalam hal ini, peran konsultan komunikasi menjadi sangat penting. 

Brian McNair (2017) dalam An Introduction to Political Communication menjelaskan bahwa konsultan komunikasi modern berperan penting dalam menjaga citra publik calon, merancang pesan yang efektif, dan merespons krisis komunikasi dengan cepat untuk melindungi reputasi calon mereka (McNair, 2017). 

Mereka harus memahami bagaimana mengelola risiko disinformasi dan menghadapi tantangan kampanye digital yang sangat dinamis. 

Seperti yang dijelaskan oleh David Kreiss (2016) dalam Prototype Politics, konsultan yang menguasai teknologi dan media sosial dapat membantu menjaga pesan kampanye tetap terfokus dan efektif, bahkan dalam situasi krisis (Kreiss, 2016).

Kritis dan Bijak dalam Memilih 

Di tengah derasnya arus informasi, pemilih juga harus bersikap kritis. 

Meski media sosial membuka akses informasi yang luas, risiko misinformasi dan disinformasi tetap ada. 

Oleh karena itu, penting bagi pemilih untuk memeriksa fakta (fact-checking) sebelum mempercayai atau menyebarkan informasi lebih lanjut. 

Organisasi seperti Mafindo dan Cek Fakta menyediakan alat yang dapat membantu masyarakat memverifikasi informasi. 

Dengan sikap kritis dan pemeriksaan fakta yang tepat, pemilih dapat melindungi diri dari dampak negatif misinformasi dan disinformasi yang sering muncul selama kampanye.

Akhirnya, meski media sosial memainkan peran sentral dalam kampanye Pilkada 2024, tetapi juga menghadirkan tantangan besar seperti echo chambers, disinformasi, dan polarisasi. 

Meskipun kritik seperti dari Axel Bruns menyatakan bahwa echo chambers adalah ilusi yang sering dibesar-besarkan, tetap penting bagi pemilih dan calon untuk berhati-hati dalam menyikapi informasi yang tersebar di media sosial. 

Konsultan komunikasi berperan penting dalam memastikan pesan kampanye tidak disalahgunakan, sementara pemilih harus tetap kritis dan menggunakan pemeriksaan fakta untuk membuat keputusan yang tepat. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved