Pilkada 2024

PBB Sumsel Senang MK Turunkan Ambang Batas Syarat Dukungan Pilkada 2024, PKN Sebut Multitafsir

Sejumlah partai politik di Sumatera Selatan (Sumsel) menyambut baik, putusan Mahkamah Konstitusi (MK)

Penulis: Arief Basuki Rohekan | Editor: Slamet Teguh
Tribunsumsel.com
Ilustrasi - PBB Sumsel Senang MK Turunkan Ambang Batas Syarat Dukungan Pilkada 2024, PKN Sebut Multitafsir 

TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Sejumlah partai politik di Sumatera Selatan (Sumsel) menyambut baik, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menurunkan ambang batas syarat dukungan partai politik dalam Pilkada 2024 nanti, meski tidak memiliki kursi di legislatif. 

Seperti Partai Bulan Bintang (PBB) provinsi Sumsel, jika dirinya tak meraih kursi di DPRD Sumsel dan beberapa kabupaten kota lainnya di Sumsel, menjadikan suara rakyat yang memilih pada Pemilu Legislatif (Pileg) Februari lalu tetap diakomodir. 

"Pastinya kita menyambut baik putusan MK itu, sebab dengan begitu suara rakyat yang yang dititipkan ke PBB tetap diakomodir, " kata Sekretaris DPW PBB Sumsel Chandra Darmawan, Selasa (20/8/2024). 

Mantan anggota DPRD kota Palembang ini pun menilai, bisa saja suara- suara partai yang tidak memiliki kursi di parlemen bisa menjadi penting dengan berkoalisi bersama parpol lain untuk mengusung pasangan calon kepala daerah. 

"Pastinya dengan jumlah pemilih di Palembang 1,2 jutaan (6,5 persen) dan provinsi Sumsel 6,3 jutaan. Bisa saja nanti ada yang diusung dari partai koalisi, mengingat ambang batas syarat sekitar 8,5 persen, " paparnya. 

Hal berbeda diungkapkan Wakil Ketua Pimpinan Daerah Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) Sumsel Fitra Jaya Purnama, jika putusan MK itu multitafsir sehingga pakar hukum yang memahaminya. 

PKN sendiri meski Partai baru, mendapatkan hasil Pileg 2024 yang tak terlalu menggembirakan. PKN sendiri meraih 1 kursi di DPRD Sumsel dan beberapa Kabupaten yang meraih kursi.

"Isi putusannya multitafsir, jadi biar pakar hukum yang jelaskan, " tukasnya. 

Baca juga: Lidyawati-Haryanto Diusung NasDem Maju Pilkada Lahat 2024, Sudah Kantongi 18 Kursi Dukungan Parpol

Sementara menurut pengamat politik sekaligus pakar hukum Tata Negara dari Universitas Sriwijaya (Unsri) Prof Dr Febrian mengatakan, dengan adanya putusan MK ini memberikan peluang kepada kandidat yang belum memenuhi syarat minimal dukungan partai bisa ikut berkompetisi di Pilkada 2024.

"Pastinya putusan MK itu final dan mengikat, termasuk soal batas umur, " kata Febrian. 

Meski putusan itu harus dijalankan, nantinya dalam praktek apakah diubah dulu atau tidak aturan yang ada sebelumnya, mengingat setiap putusan MK itu berlaku sejak diputuskan. 

"Jelas dengan putusan itu, partai tanggung (raihan kursi atau suara terbatas) di daerah bisa mengusung sendiri, dan putusan pengadilan MK ini merupakan representasi keinginan rakyat untuk rasa keadilan bagi masyarakat, " ucap Febrian. 

Dijelaskan Febrian, dengan kondisi seperti itu bisa saja komposisi pasangan bakal calon kepala daerah nanti di setiap daerah mengalami perubahan, apalagi jika calon tersebut belum nyaman selama ini seperti di kota Palembang dan daerah lainnya di Sumsel dengan ambang batas yang turun saat ini. 

"Pastinya kalau belum enjoy seperti Palembang, Ratu Dewa saat ini baru Gerindra yang mendukung dan praktek politiknya harus koalisi parpol satu lagi, bisa dengan partai Golkar atau PDIP. Nah, jika Gerindra tanpa Golkar dan PDIP bisa tidak maju sendiri dengan putusan MK ini. Jadi, bisa jadi peta politik Pilkada berubah nanti, " bebernya. 

Baca juga: Pilkada Pagar Alam 2024, Alpian Maskoni Siapkan Kejutan: Tunggu 27 Agustus

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memastikan partai non seat alias tidak memiliki kursi di DPRD dapat mengusung pasangan calon gubernur dan wakil gubenur.

Hal tersebut sebagaimana Putusan MK 60/PUU-XXII/2024, yang dimohonkan Partai Buruh dan Partai Gelora.

MK menolak permohonan provisi para pemohon. Namun, Mahkamah mengabulkan bagian pokok permohonan.

"Dalam pokok permohonan: Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian," ucap Ketua MK Suhartoyo, dalam sidang pembacaan putusan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (20/8/2024).

Suhartoyo menyatakan, Pasal 40 Ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai:

"Partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftatkan pasangan calon jika telah memenuhi syarat sebagai berikut:

Untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur:

a. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2. 000.000 (dua juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10 persen (sepuluh persen) di provinsi tersebut;

b. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2 000.000 (dua juta) jiwa sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik perserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 8,5 % (delapan setengah persen) di provinsi tersebut.

c. provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemih tetap lebih dari 6.000.000(enam juta) jiwa sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai poltk peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 7,5 % (tujuh setengah persen) di provinsi tersebut

d. provinsi dengan jumah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedkt 6,5 % (enam setengah persen) di provins itersebut;
 
Untuk mengusulkan calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota:

a. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilihan tetap sampai dengan 250.00 (dua ratus ima puluh ribu) jiwa, partai politik atau gabungan partai poltk peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikit 10 % (sepuluh persen) di kabupaten/kota tersebut.

b. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 250.000 (dua ratus ima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa, partai politij atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikt 8,5 % (delapan setengah persen) di kabupaten kota tersebut;

c. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemlihan tetap lebih dari 500.000 (ima ratus ribu) sampai dengan 1.000.00 (satu juta) jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memeroleh suara sah paling sedikt 7,5 % (tujuh setengah persen) di kabupaten kota tersebut;

d. kabupaten/kota dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 1.0000 (satu juta) jiwa, parai politik atau gabungan partai poitik peseria pemiu harus memeroleh suara sah paling sedikit 6,5 % (enam selengah persen) di kabupaten/kota tersebut;".

Sebelumnya, Partai Buruh dan Partai Gelora menggugat aturan terkait batasan partai politik tanpa kursi di DPRD dalam pengusungan pasangan calon (paslon) di Pilkada.

Ketentuan tersebut diatur pada Pasal 40 Ayat (3) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada).

Pasal tersebut berbunyi, "Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25 persen (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah."

Ketua tim hukum Partai Buruh dan Partai Gelora, Said Salahuddin, mengaku pihaknya dirugikan secara konstitusional atas keberlakuan pasal a quo.

Lebih lanjut, ia menilai, persyaratan pendaftaran pasangan calon yang diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol lebih berat daripada persyaratan pendaftaran pasangan calon dari jalur perseorangan.

"Paslon yang diusulkan parpol, berbasis pada perolehan suara sah. Sedangkan, paslon perseorangan berbasis pada dukungan KTP pemilih," ungkapnya.

Dalam petitumnya, Partai Buruh dan Partai Gelora meminta MK, menyatakan Pasal 40 Ayat 3 UU Nomor 10 Tahun 2016 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, "dalam hal partai politik atau gabungan partai politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat 1, jika hasil bagi jumlah akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum Anggota Dewan Perwakailan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan menghasilkan angka pecahan, maka dihitung dengan pembulatan ke atas".

 

 

 

 

Baca berita Tribunsumsel.com lainnya di Google News

Ikuti dan bergabung dalam saluran whatsapp Tribunsumsel.com

 

 

 

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved