Gua Harimau: Jejak Peradaban Masa Lampau di Sumatra Selatan
Gua Harimau secara administratif berada di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), tepatnya di lereng Bukit Karang Sialang,
TRIBUNSUMSEL.COM- Tak banyak yang mengira bahwa Sumatra Selatan memiliki jejak peradaban prasejarah nan memukau.
Jejak itu berbaur dengan alam dan menyatu dengan kehidupan masyarakat berbilang masa. Saat ini, catatan kehidupan masa lampau ribuan tahun silam itu dikenal dengan sebutan Gua Harimau.
Mentari Halimun
Pamong Budaya Ahli Pertama Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VI
Gua Harimau secara administratif berada di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), tepatnya di lereng Bukit Karang Sialang, di kawasan hutan karst Desa Padang Bindu, Kecamatan Semidang Aji.
Dari ibu kota kabupaten, jika ingin menuju ke lokasi gua, pengunjung masih harus menempuh ± 35 kilometer.
Lokasi gua berada pada ketinggian ± 164 mdpl dengan kemiringan lereng 40⁰. Bentuk gua berupa ceruk besar dengan arah hadap tenggara, dan termasuk pada kategori gua yang terkena sinar matahari terbit.
Gua Harimau merupakan salah satu gua hunian masa prasejarah yang di dalamnya banyak ditemukan tinggalan berupa alat batu, bekal kubur, gerabah, alat logam, tulang manusia (ekofak), maupun lukisan pada dinding gua.
Karena kekayaan tinggalan yang dimilikinya, pada tahun 2019 Gua Harimau telah ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya Peringkat Nasional melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 224/P/2019.
Jejak Tinggalan Sejarah di Situs Gua Harimau
Gua Harimau ditemukan pada tahun 2008 atas laporan dari penduduk desa bernama Ferdi. Kala itu Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melakukan survei di kawasan perbukitan karst Padang Bindu. Setelah laporan temuan tersebut, secara masif dilakukan penelitian hingga tahun 2016.
Pentingnya Gua Harimau sebagai situs prasejarah terlihat dari temuan-temuan spektakuler dengan kelengkapan dan kekayaan tinggalan yang sangat jarang ditemukan di situs lainnya di Indonesia.
Bahkan, bisa dikatakan bahwa kronologi hunian di Gua Harimau merupakan yang terpanjang dengan sekuens lapisan budaya terlengkap yang ditemukan sejauh ini di Sumatra.
Dari hasil penanggalan radiometri dari lapisan terdalam ekskavasi yang dilakukan, diketahui bahwa lapisan hunian awal berusia sekitar 22.000 tahun dan lapisan teratas di sekitar abad awal Masehi, yaitu sekitar tahun 164 ± 36 M.
Data hasil ekskavasi yang dilakukan hingga tahun 2016 telah ditemukan sebaran kubur dari 81 individu. Dari ciri-ciri fisik individu yang ditemukan, disimpulkan bahwa individu-individu tersebut tergolong pada dua ras yang berbeda; yaitu ras australomelanesid dan ras mongoloid.
Ras australomelanesid merupakan penghuni awal gua karst di Padang Bindu. Mereka diperkirakan merupakan manusia modern awal yang memasuki nusantara dari migrasi panjang out of Africa.
Bersama dengan temuan rangka manusia ini, pada galian kotak ekskavasi juga ditemukan sisa-sisa hunian berupa alat batu masa paleolitik yang menjadi ciri budaya ras australomelanesid.

Penghuni gua yang selanjutnya ditemukan di gua ini adalah ras mongoloid. Manusia pada masa ini telah lebih maju. Hal ini terlihat pada jejak kebudayaan yang ditinggalkan.
Berdasarkan tinggalan yang ditemukan, dapat diketahui bahwa masyarakat pada saat itu telah mengenal cara bercocok tanam dan domestikasi hewan untuk memenuhi kebutuhan makannya.
Ciri morfologi ras mongoloid yang ditemui di antaranya bentuk tengkoraknya meninggi dan membundar, serta tulang tengkorak bagian belakang berbentuk datar.
Alasan pemilihan gua atau ceruk sebagai hunian karena kondisinya yang lebih ideal dan banyaknya kemudahan yang didapat dibandingkan dengan tinggal di alam terbuka.
Gua memiliki ruang permanen yang dapat menampung aktivitas sehari-hari, terlindung dari gangguan kondisi cuaca (hujan, badai, suhu yang terlalu panas, dan suhu yang terlalu dingin), dan ancaman binatang buas.
Dari berbagai jenis tinggalan yang ditemukan seperti artefak, ekofak, dan fitur, diketahui bahwa gua telah dimanfaatkan untuk bermacam aktivitas.
Pelestarian Situs Gua Harimau
Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VI Provinsi Sumatra Selatan sebagai Unit Pelaksana Teknis Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi memiliki tugas melaksanakan pelestarian terhadap Cagar Budaya dan Objek Pemajuan Kebudayaan.
Dalam hal pelaksanaan pelestarian di Situs Gua Harimau, sepanjang periode Mei 2023 hingga Juli 2024 BPK Wilayah VI telah melakukan ragam kegiatan seperti studi konservasi ekofak (tulang) temuan Situs Gua Harimau, konservasi ekofak (tulang), studi keterawatan lukisan gua, perekaman data 3 dimensi Gua Harimau, dan pemeliharaan sarana dan prasarana Situs Gua Harimau.
Dalam pelaksanaan kegiatan pelestarian, BPK Wilayah VI bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Museum dan Cagar Budaya (MCB), akademisi, instansi terkait di bidang kebudayaan, serta tenaga teknis dari BPK lainnya.
Sebagai Cagar Budaya peringkat nasional, BPK Wilayah VI secara persisten melakukan pelestarian di Situs Gua Harimau. Dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pelestarian diartikan sebagai upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya.
Pelestarian cagar budaya tidak hanya terkait dengan objeknya saja. Secara arkeologis, cagar budaya terikat dengan konteks lingkungan maupun budaya secara umum, karena itu kegiatan pelestarian tidak dapat dilepaskan dari pelestarian lingkungan ataupun alam tempat objek itu berdiri.
Salah satu bentuk pelestarian yang dilakukan pada 2023 silam yaitu konservasi terhadap ekofak berupa tulang manusia temuan di Situs Gua Harimau.
Konservasi dilakukan dengan tujuan melestarikan kondisi yang ada dari kehancuran atau perubahan untuk mempertahankan signifikansi budayanya.
Cagar Budaya merupakan benda dengan usia puluhan, ratusan, hingga ribuan tahun lalu sehingga kualitas material penyusunnya telah mengalami degradasi kondisi seiring waktu yang dilewati.
Pelestarian yang dilakukan, dalam hal ini dengan metode konservasi, merupakan salah satu bentuk upaya yang dilakukan untuk mewariskan kekayaan ilmu pengetahuan ke generasi yang akan datang.
Untuk mengelola bukti material hasil budaya dan atau material alam beserta lingkungannya, dibangun 2 museum yang jaraknya tidak jauh dari lokasi situs; yaitu Museum Si Pahit Lidah yang telah beroperasi semenjak 2011/2012 dan dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah milik Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ulu, serta Museum Gua Harimau yang dibangun pada tahun 2017 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pembangunan museum ini salah satunya bertujuan untuk mengomunikasikan dan memamerkan kepada masyarakat terkait temuan-temuan yang ada serta penelitian-penelitian yang hingga saat ini masih berlangsung di Gua Harimau.
Peran Serta Bersama dalam Upaya Pelestarian
Dalam melakukan pelestarian ke depan tentu dibutuhkan keterlibatan masyarakat, khususnya masyarakat di sekitar Situs Gua Harimau.
Sebab, pada dasarnya tinggalan Cagar Budaya adalah bukti atas rangkaian perjalanan panjang dengan pelbagai pola dan proses pembentukan hari ini yang dilahirkan oleh masyarakat pada masa tersebut.
Tentu menjadi sebuah keharusan bahwa cagar budaya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat dan wilayah sekitar lingkungan objek pada umumnya.
Pada dasarnya, paradigma pelestarian cagar budaya tidak hanya berhenti sampai dengan tahap melindungi, namun juga berimplikasi pada pengembangan dan pemanfaatan di masa yang akan datang.
Rangkaian kegiatan ini membutuhkan peran serta masyarakat secara langsung maupun tidak langsung.
Kembali pada masa 8 tahun silam, pada tahun 2016, Situs Gua Harimau menjadi salah satu destinasi pelaksanaan Rumah Peradaban yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang kala itu masih berada di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Situs Gua Harimau dengan ragam kekayaan tinggalannya menjadi sarana pembelajaran, pengayaan, pencerdasan, dan pencerahan tentang kehidupan masa lampau bagi masyarakat yang datang berkunjung selama masa kegiatan berlangsung. Hal ini menjadi bukti bahwa kegiatan penelitian, pelestarian, dan pemanfaatan dapat berjalan beriringan dengan pengelolaan yang tepat.
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 menjelaskan bahwa pengelolaan Cagar Budaya merupakan upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk kesejahteraan rakyat.
“Upaya terpadu” itu akan dapat berjalan dengan dukungan penuh pihak-pihak yang terlibat dalam pelestarian seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga masyarakat, dan masyarakat.
Kolaborasi seluruh pemangku kebijakan ini dapat berjalan beriringan dengan menekankan fungsi sekaligus peran masing-masing dalam bentuk sinergitas pemikiran dan kesamaan visi yang ingin dicapai ke depan. (mament)
Sholawat Kamilah Versi Pendek dan Panjang, Lengkap Tulisan Latin Serta Artinya |
![]() |
---|
Teks Doa Sebelum dan Sesudah Baca Al Quran, Lengkap Tulisan Latin Serta Artinya |
![]() |
---|
Jawaban Soal Informatika Kelas 7 Halaman 84 Kurikulum Merdeka: Mengetahui Spesifikasi Perangkat |
![]() |
---|
20 Latihan Soal UTS IPA Kelas 7 Semester 1 2025 Lengkap dengan Kunci Jawabannya |
![]() |
---|
Pemeliharaan Jaringan Listrik Kota Palembang Hari Ini, Rabu 27 Agustus 2025, Ini Wilayah Terdampak |
![]() |
---|