Guru Dituntut Usai Hukum Murid

Terima Hasil Visum, Akbar Sarosa Akui Pukul Siswa Tak Mau Sholat Pakai Kayu 50 Cm, Niat Nakuti

Akbar Sarosa guru PAI di SMKN 1 Taliwang yang viral setelah dilaporkan orangtua murid lantaran melakukan penganiayaan akhirnya angkat bicara di stasiu

Penulis: Thalia Amanda Putri | Editor: Moch Krisna
kolase/youtube TVOnenews
Akbar Serosa Guru PAI Akui Pukul Siswa Pakai Kayu 50 Cm Karena Tak Mau Sholat 

TRIBUNSUMSEL.COM -- Akbar Sarosa guru PAI di SMKN 1 Taliwang yang viral setelah dilaporkan orangtua murid lantaran melakukan penganiayaan akhirnya angkat bicara di stasiun TV swasta.

Akbar Sarosa mengakui sudah melakukan tindakan pemukulan terhadap muridnya berinisla MAS dengan mengunakan kayu.

"Saya pukul murid menggunakan kayu memang adalah hal yang benar dan itupun yang dipukul memang anak itu atau MAS," ujarnya melansir dari tayangan youtube TV Onenews, Senin (9/10/2023).

Kendati demikian, Akbar Sarosa menyebut pukulan tidak mengenai badan siswa melainkan tas ranselnya.

"Saya pukul itu adalah ranselnya karena kebetulan anak tersebut menggunakan ransel. Setelah itu langsung saya buang," jelas Akbar Sarosa.

Aksi pemukulan tersebut dilakukan Akbar Sarosa lantaran siswa tak mau salat.

"Jadi kayunya kira-kira sepanjang 50 cm, kebetulan kayu yang memang tergeletak di tanah, niat awal saya memang hanya menakuti anak anak saya supaya bergegas.

Ya namanya anak-anak kalo hanya melihat kita memegang kayu saja itu sudah kocar kacir," ujarnya.

Akbar Sarosa hanya memukul bagian tas ransel siswa karena tahu jika terkena tubuh bisa cidera.

"Saya sengaja hanya kena tas karena kalau saya kenai bagian tubuhnya itu bisa mengakibatkan cedera yang cukup fatal, jadi hanya tasnya saja," sambungnya.

Mengenai hasil visum yang dilakukan siswa MAS dalam laporan kepolisian, Akbar Sarosa bak menerima

Dirnya tak mengelak karena visum didapat dari pemeriksaan resmi rumah sakit berdasarkan saran dari pihak kepolisian.

"Ya kalau berdasarkan hasil visum saya tetap mempercayai itu adalah hasil yang benar karena itu visum dilakukan oleh korban bersama orangtuanya yang dilakukan sesuai rekomendasi kepolisian, jadi hasil visum benar adanya.," ujarnya.

Ia juga bereaksi soal tuntutan dari orangtua muridnya yang meminta ganti rugi senilai Rp 50 juta.

"Kalau saya pribadi awal mula itu kita sudah mengupayakan proses mediasi yang dimana saya mengakui perbuatan saya yang mendisiplinkan anak anak tersebut dengan cara kekerasan adalah kesalahan," tuturnya.

Akbar Sarosa menyampaikan permintaan maaf kepada orangtua MAS.

"Sekali lagi saya benar benar minta maaf, tapi proses mediasi itu tidak ditemukan titik temu jadi berujung ke pengadilan seperti saat ini," tutupnya.

Kronologi Kejadian

Akbar Sarosa merupakan guru honorer Pendidikan Agama Islam (PAI) di SMK Negeri 1 Taliwang, Sumbawa Barat.

Akbar Sarosa terancam dipenjara imbas tindakannya memberikan hukuman kepada muridnya lantaran tak sholat.

Orangtua siswa berinisial A itu tak terima atas hukuman tersebut hingga melaporkan guru Akbar Sarosa ke polisi.

Adapun awal kejadian bermula saat sekolah menerima bantuan mesin buku, pada Selasa (26/9/2023)

Namun karena mesin buku tidak bisa masuk ke halaman sekolah maka salah satu gerbang dibongkar.

Saat itu, beberapa siswa yang duduk nongkrong di samping gerbang serta ada pula beberapa anak yang pulang tanpa izin atau membolos.

"Saya bertanya pada siswa di situ, siapa yang kabur (bolos) itu? Tapi mereka tidak mau menjawab. Lalu saya minta anak-anak itu untuk jangan pulang dulu, sampai bel pulang berbunyi," kata Akbar, dilansir dari Kompas.com, Senin (9/10/2023).

Selang beberapa menit, azan zuhur berkumandang.

Pak guru Akbar kemudian mengajak siswa yang tengah nongkrong di gerbang untuk sembahyang di mushala.

Tetapi ajakan tersebut tak diindahkan oleh para siswa tersebut.

"Mereka hanya diam dan lanjut ngobrol gitu," cerita Akbar.

Setelah tiga kali mendapat penolakan, ia masih berusaha mengajak siswa-siswa shalat, tapi menurutnya, tidak ada yang beranjak.

"Anak yang tidak mau ini, salah satunya korban. Korban kemudian menatap saya dengan tajam," ujar Akbar.

Ia lalu mengambil beberapa tindakan untuk mendisiplinkan muridnya.

"Awalnya saya ambil sebilah bambu untuk menakuti saja, agar siswa segera bangun melaksanakan shalat. Hingga mereka berdiri. Bambu mengenai tas tas ransel korban," ungkapnya.

Karena mereka masih diam, Akbar kemudian mengaku mencolek siswa dengan tangan.

Saat itu, A masih menatap Akbar dengan sorotan tajam.

"Saya lalu colek bagian lengan dan pundak A dengan tangan, seperti cubit sedikit. Dua sampai 3 kali saya colek gitu," ujarnya.

Hingga para siswa kemudian pergi menuju mushala untuk melaksanakan salat.

Setelah selesai shalat, Akbar terpikir untuk mengecek keadaan anak-anak yang dia tegur tadi.

"Saya lalu tanya di mana siswa yang terkena pukul tadi? Temannya bilang sudah pulang."

Dia mengaku sempat menanyakan apakah ada siswa yang terluka. Siswa lainnya menjawab tidak ada.

"Tapi saya sampaikan salam permohonan maaf termasuk ke A lewat temannya. Saat itu siswa pulang sekolah pada pukul 14.15 Wita," imbuh dia.

Namun, saat pulang, Akbar justru mendapat kabar dari kepala sekolah bahwa ayah dari siswa A datang ke sekolah.

Ia tidak terima anaknya dihukum dengan tindakan fisik.

Akbar kemudian menyampaikan permintaan maafnya kepada orangtua siswa.

Bahkan sudah melalui upaya mediasi tiga kali. Namun tak kunjung ada titik terang.

"Saya sudah minta maaf kepada orangtua siswa. Bahkan mediasi dilakukan oleh pihak sekolah sampai tiga kali," sebutnya.

Akbar juga pergi ke rumah orang tua A untuk meminta maaf tapi tak kunjung dimaafkan.

Hingga Akbar meminta bantuan kepada pihak keluarga dan kerabat terdekat A untuk meminta maaf, tapi dia mengaku dimintai uang Rp 50 juta agar proses damai bisa disetujui orangtua korban.

"Saya jujur katakan tidak punya uang sampai segitu. Saya masih honorer. Gaji sebulan Rp 800.000.

Untuk biaya kebutuhan sehari-hari saja masih pas-pasan. Apalagi harus bayar 50 juta, uang dari mana," sambungnya.

Dilaporkan ke Polisi

Kasus tersebut pun berujung ke ranah hukum. Orangtua A melaporkan guru honorer tersebut atas dugaan pemukulan.

Setelah pengaduan di kepolisian, sudah dilakukan upaya mediasi, tetapi tak kunjung ada jalan damai.

Orangtua tak kunjung membuka pintu maaf sampai kasus ini bergulir ke persidangan.

"Saya berharap hakim bisa mengambil keputan yang adil. Saya berharap bisa restoratif justice mendapatkan keadilan sesuai fakta persidangan," harap Akbar.

Kompas.com sudah berupaya menghubungi orangtua siswa yang menjadi korban. Namun mereka menolak memberikan komentar.

Penjelasan polisi

Kasat Reskrim Iptu Adi Satyia membenarkan adanya laporan kasus tersebut.

"Kami sudah upayakan dua kali mediasi atas kasus tersebut. Pengaduan pada tanggal 26 Oktober 2022 disampaikan pelapor orangtua siswa. Kami lakukan penyelidikan, sembari memberi waktu proses restoratif justice. Sekolah juga upayakan mediasi sebanyak tiga kali tapi tetap tidak ada kata sepakat," kata Adi saat dikonfirmasi.

"Kami pernah sarankan pada tersangka jika berupaya lagi mediasi dengan pelapor, tapi tetap tidak ada kata sepakat saat mediasi," terang Adi.

Sebelum Mei pelapor kembali mempertanyakan perkembangan kasus dan hasil penyidikan.

Perkara dinyatakan P21 oleh Kejaksaan pada Agustus 2023.

Versi penyidik, awalnya korban ini diajak shalat oleh guru Akbar tapi siswa tidak mau.

Justru anak ini seperti menantang gurunya dengan tatapan mata.

Agar anak-anak ini mau bersembahyang, Akbar berupaya menakuti dengan bambu dan terkena tas korban.

Kasi Pidana Umum (Pidum) Kejari Sumbawa Barat, AA Putu Juniartana Putra saat ditemui Rabu (4/10/2023) mengatakan agenda pembacaan tuntutan dari JPU ditunda atas permintaan penasihat hukum terdakwa.

Menurutnya, saat proses mediasi yang alot dan panjang sempat ada informasi perdamaian dan permintaan ganti rugi sebesar Rp 50 juta yang diajukan oleh pelapor kepada terdakwa tetapi dari kedua belah pihak tidak ada kata sepakat.

Bli Agung sapaan akrabnya, menambahkan terdakwa melanggar pasal 76C Jo Pasal 80 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Bli agung melanjutkan bahwa terdakwa pada sidang sebelumnya mengakui melakukan pemukulan pada anak didiknya karena tidak mau sembahyang dan melawan gurunya.
"Terdakwa mengakui melakukan pemukulan dengan kepalan tangannya. Dan ada memar di leher siswa dari hasil visum et repertum," ungkap Agung.

(*)

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved