Vonis Terdakwa Korupsi Masjid Sriwijaya
Hakim Pengadilan Tipikor Palembang Tolak Pengajuan Justice Collaborator Mukti Sulaiman, Ini Arti JC
Majelis hakim Pengadilan Tipikor Palembang memutuskan untuk tidak mengabulkan pengajuan Justice Collaborator (JC) yang diajukan Mukti Sulaiman.
Penulis: Shinta Dwi Anggraini | Editor: Vanda Rosetiati
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Majelis hakim Pengadilan Tipikor Palembang memutuskan untuk tidak mengabulkan pengajuan Justice Collaborator (JC) yang diajukan Mukti Sulaiman, terdakwa korupsi dana hibah pembangunan Masjid Raya Sriwijaya Jakabaring Palembang.
Untuk diketahui, JC adalah sebutan bagi pelaku kejahatan yang bekerjasama dalam memberikan keterangan dan bantuan bagi penegak hukum dengan harapan mendapat keringanan hukuman.
Saat membacakan amar putusan, hakim menjelaskan alasan tidak diterimanya JC yang diajukan Mukti Sulaiman.
"Sebagai Justice Collaborator, Mukti Sulaiman kurang jujur dalam mengungkap fakta perkara dan tidak menunjukan bukti-bukti signifikan," ujar hakim anggota, Waslam Makshid
dalam persidangan.
Sikap Mukti Sulaiman tersebut dianggap tidak membantu dalam mengungkap perkara dan keterlibatan orang lain dalam perkara Masjid Sriwijaya.
"Maka dari itu Justice Collaborator Mukti Sulaiman tidak dapat terpenuhi, dan diabaikan," tegas hakim.
Lanjut dikatakan, pemberian JC harus dilakukan sesuai syarat.
Adapun syarat JC adalah pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu perkara.
"Pelaku yang diberikan JC mengakui kejahatan yang dilakukannya dan bukan pelaku utama. Terdakwa memberikan keterangan dan bukti signifikan kepada penyidik sehingga dapat mengungkap pelaku lainnya yang memiliki peran yang besar. Sehingga pelaku tersebut dapat mengembalikan aset dalam rangka pengembalian kerugian negara. Dari itu dalam perkara ini JC terdakwa Mukti Sulaiman belum terpenuhi," ujar Hakim
Untuk diketahui, Mukti Sulaiman dan Ahmad Nasuhi divonis melanggar ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Mukti Sulaiman, mantan Sekretaris Daerah Pemprov Sumsel mendapat vonis 7 tahun penjara.
Sedangkan Ahmad Nasuhi, mantan Plt Kepala Biro Kesra Pemprov Sumsel, dijatuhi hukuman 8 tahun penjara.
Selain itu, masing-masing terdakwa juga dijatuhi denda sebesar Rp.400 juta subsider 4 bulan kurungan.
Vonis tersebut, jauh lebih ringan dari tuntutan JPU Kejati Sumsel terhadap keduanya.
Terdakwa Mukti Sulaiman sebelumnya dituntut dengan pidana 10 tahun serta denda Rp.750 juta subsidair 6 bulan kurungan.