Berita OKI
Lelang Lebak Lebung di OKI Jadi Warisan Budaya Tak Benda, Ada Sejak Kerajaan Palembang
Tradisi Lelang Lebak Lebung (L3) di OKI sudah berlangsung sejak masa kerajaan Palembang (1587-1659) hingga sekarang.
Penulis: Winando Davinchi | Editor: Yohanes Tri Nugroho
TRIBUNSUMSEL.COM, KAYUAGUNG -Tradisi Lelang Lebak Lebung (L3) sudah berlangsung sejak masa kerajaan Palembang (1587-1659) hingga sekarang.
Pada masa kerajaan Palembang, sistem ini diatur dalam Kitab Undang-undang Simbur Cahaya.
Sedangkan pada masa kolonial ditahun (1821-1942) Belanda mengubah beberapa aturan dalam Simbur Cahaya dan berpengaruh pada sistem pembagian hasil lelang.
Yang dimaksud dengan lebung adalah bagian terdalam (menyerupai palung) di lebak (rawa) yang merupakan hulu sebuah aliran sungai.
Menjelang masa surut, dilakukan lelang yang dapat diikuti semua orang.
Lelang yang dimaksud adalah bagian-bagian sungai dan lebak yang telah ditentukan batas-batasnya.
Diceritakan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten OKI, Hj Ariyanti S.STP bahwa ikan yang ada di kawasan ini merupakan ikan liar alam, bukan hasil budidaya.
"Pemenang lelang berhak memanen ikan dan hasil lainnya di dalam lokasi sungai maupun lebak yang telah ditentukan," jelasnya saat dikonfirmasi Tribunsumsel.com, Senin (1/11/2021) sore.
Dimasa silam, lelang dilakukan oleh marga (kelompok pemerintahan masyarakat adat, berlaku hingga tahun 1982). Dimana hasil lelang selanjutnya menjadi kas marga (masa kolonial dikenal marga kasen).
"Untuk sekarang disaat marga tak lagi berlaku, beberapa daerah membuat peraturan daerah yang mengaturnya,"
"Hingga, ada semacam sistem pembagian hasil antara Desa dengan Kecamatan dan pemerintah Kabupaten di kawasan lelang yang telah dimenangi oleh seseorang, tidak boleh diambil hasilnya oleh orang lain," ungkapnya.
Biasanya, pemenang membolehkan orang lain mengambil ikan secara terbatas. Misalnya, hanya dibolehkan memancing.
Masih kata Ariyanti, pemenang, selain memanen pada hari-hari biasa, akan melakukan pemanenan secara besar-besaran, setelah air sungai benar-benar surut dan semua ikan terkumpul di lebung.
"Biasanya, panen ini akan berlangsung sangat ramai. Sistem ini juga memiliki kearifan masyarakat yang berdiam di kawasan atau daerah yang masih memberlakukan L3 dan biasanya tidak akan mencari ikan dengan cara penyetruman, peracunan, atau cara lain yang merusak," ujar dia.
Demi menjaga tradisi turun-temurun tersebut, pihaknya telah berinisiatif dan telah mendapatkan sertifikasi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.