Berita Ubahlaku
Urban Farming Jaga Ketahanan Pangan dan Ekonomi di Masa Pandemi Covid-19
Tidak perlu lahan yang luas semua dilakukan warga di lahan terbatas bahkan sempit yang dikenal sebagai pertaninan perkotaan atau urban farming.
Penulis: Vanda Rosetiati | Editor: Vanda Rosetiati
PANDEMI Covid-19 yang terjadi lebih dari 1,5 tahun belakangan ini membawa banyak perubahan perilaku di dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Tren positif yang belakangan populer adalah warga menjadi gemar bercocok tanam, berkebun atau bertani. Tidak perlu lahan yang luas semua dilakukan warga di lahan terbatas bahkan sempit yang dikenal sebagai pertaninan perkotaan atau urban farming.
Dari sekedar mengisi waktu saat form home (WFH), urban farming ternyata menjadi salah satu upaya untuk menjaga ketahanan pangan masyarakat. Bahkan tidak sedikit juga akhirnya yang menjadikan urban farming sebagai lahan usaha baru mereka sehingga terwujud ketahanan ekonomi.
Perihal prospek bisnis Urban Farming ini disampaikan Yogo, salah satu pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) Urban Farming di Palembang. Lelaki muda lulusan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya ini menuturkan kala itu tahun 2018 dirinya yang masih bestatus mahasiswa sembari bekerja di salah satu perusahaan hidroponik. Setelah setahun bekerja dirinya melihat propek usaha ini memang cukup bagus.
"Melihat peluang yg bagus maka desember 2018 saya memutuskan resign dan mulai membangun usaha hidroponik sendiri bernama Telaga Farm. Menurut saya hidroponik sangat cocok dijadikan hobi sekaligus bisnis urban farming karena tidak memerlukan lahan yang luas,"katanya saat diwawancarai Tribun Sumsel, Rabu (20/10/2021).
Berbekal tabungannya saat bekerja, saat itu Yugo membangun kebun hidroponik dulu berkapasitas 4000 lubang tanam dengan modal sekirat Rp 45 juta.
"Seiring waktu permintaan sayur hidroponik semakin meningkat dan terus memperluas kebun. Demi memenuhi permintaan baru-baru ini Telaga Farm membangun kebun baru berkapasitas 12.000 lubang tanam. Jadi kapasitas kebun total saat ini sebanyak 16.000 lubang tanam. Permintaan sayur hidroponik meliputi sawi-sawian, selada, bayam dan seledri.
Bagikan Sayur ke Tetangga
Lebih lanjut Yugo menuturkan, setiap usaha pasti pernah mengalami kendala.
"Secara teknis adalah kendala hama dan penyakit karena memang lain musim lain pula perlakuan pada tanaman. Namun, ada juga bencana yang tak terduga seperti Pandemi Covid-19," kata Yugo.
Di awal masa Pandemi Covid-19 lalu diakui Yugo, usahanya pernah mengalami gagal penjualan dan berbulan-bulan usaha tidak lancar.
"Namun, saya menarik hikmah positif karena di masa Pandemi Covid-19 ini saya justru makin bisa banyak berbagi. Sayur-sayuran yang sudah masa panen tetapi tidak terjual saya bagi-bagikan ke tetangga, teman juga kerabat. Sedangkan untuk yang memang sudah tidak layak dikonsumsi saya jadikan pupuk kompos bahkan pernah dijadikan pakan sapi," katanya.
Saat ini lanjut Yugo usaha berangsur kembali pulih, bahkan baru-baru ini dirinya baru membangun kebun baru dengan kapasitas 12.000 lubang tanam. Kuncinya adalah menjaga kualitas sehingga kepercayaan pelanggan terjaga.
Keunggulan Urban Farming
Ada beberapa kelebihan bertanam hidroponik punya nilai lebih dibanding bertanam konvensional. Meskipun modal awal menelan biaya yang sangat besar tapi dibalik itu punya kelebihan yangg tidak dimiliki pertanian konvensional.
Kelebihan hidroponik pertama yaitu lahan diperlukan tidak harus luas, hasil panen yang tinggi, masa panen yang cepat dan kualitas yang lebih baik dibanding sayuran konvensional sehingga bisa masuk ke pasar "premium" salah satunya supermarket dan horeka (hotel, resto, cafe).