Berita Palembang
Pemerintah Bubarkan FPI, Pengamat Politik Unsri: Seharusnya Ada Jalan Non Hukum atau Mediasi
Sikap pemerintah kepada FPI sangat terkesan keras, bukan tegas. Seharusnya ada jalan non hukum atau mediasi dalam menyelesaikan persoalan
Penulis: Shinta Dwi Anggraini | Editor: Vanda Rosetiati
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Pemerintah secara resmi hentikan dan bubarkan Front Pembela Islam (FPI) melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang larangan kegiatan penggunaan simbol dan atribut serta penghentian kegiatan FPI.
Adanya SKB ini berarti setiap kegiatan yang dilakukan atas nama FPI secara resmi dilarang.
Terkait keputusan tersebut, Pengamat Politik dari Universitas Sriwijaya, Dr Ardiyan Saptawan menilai, pembubaran FPI justru dapat menimbulkan radikalisme baru di tengah masyarakat.
"Karena tindakan ini terkesan memborbardirkan Habib Rizieq. Otomatis bisa saja simpatisannya yang justru merasakan kearogansian pemerintah. Dampaknya dapat memunculkan radikalisme. Jadi pemerintah yang mengundang radikalisme itu," ujarnya, Rabu (30/12/2020).
Menurutnya, pemerintah membuat keputusan pembubaran
FPI dengan tidak menggunakan jalur musyawarah.
Namun lebih tepat dikatakan sebagai tindakan yang menjalar pada kekerasan dengan mengatasnamakan hukum.
"Betul negara kita memang negara hukum, tapi ingat Pancasila kita itu undang-undang musyawarah," ujarnya.
Apalagi, kata Adrian, kebijakan pembubaran FPI sangat jelas terlihat dipengaruhi adanya faktor politik.
Ia menilai serangan bertubi-tubi terhadap satu titik dalam hal ini Habib Rizieq Shihab selaku pemimpin FPI, menjadi salah satu
bukti nyata dari penilaian tersebut.
Contoh lainnya, SKT FPI yang diketahui telah kadaluwarsa sejak 20 Juni 2019, namun perpanjangan izin ormas tersebut tidak kunjung dilakukan hingga akhirnya saat ini berujung pada pembubaran.
"Seperti ditangkapnya Habib Rizieq, belum lagi persoalan pesantrennya, itukan bertubi-tubi. Ini istilahnya pemborbardiran politik," ujarnya.
"Nah inilah karena manusia tidak hanya mengandalkan logika tapi ada juga etika dan estetika serta ada rasa dis itu. Ini yang kata saya tadi bisa mengundang radikalisme baru," katanya menambahkan.
Diketahui, FPI bukanlah ormas pertama yang dicabut izinnya oleh pemerintah.
Sebelumnya juga ada Hizbut Tahrir yang lebih dulu mengalami nasib serupa.
Namun Adrian menilai, radiasi pembubaran Hizbut Tahrir tidak semencekam pembubaran FPI saat ini.