Dibeberkan Menaker Ida Fauziyah, Sederet Rencana Presiden Jokowi Pasca-Pengesahan UU Cipta Kerja

Rencana Presiden Jokowi ini diungkapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah.

Editor: Weni Wahyuny
Tribunnews
Presiden Jokowi 

TRIBUNSUMSEL.COM - Berbagai reaksi ditunjukkan pasca-pengesahan RUU CIpta Kerja menjadi UU Cipta Kerja.

Setelah pengesahan UU Cipta Kerja, banyak buruh dan mahasiswa melakukan demo di berbagai kota, untuk menolak UU Cipta Kerja.

Diketahui RUU Omnibuslaw Cipta Kerja secara resmi telah disahkan menjadi UU Cipta Kerja oleh DPR sejak Senin (5/10/2020) kemarin.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) merencanakan suatu langkah untuk menanggapi UU Cipta Kerja setelah disahkan oleh DPR.

 

Ida Fauziyah membeberkan rencana Presiden Jokowi selanjutnya setelah UU Cipta Kerja secara resmi disahkan oleh DPR.

Dari penuturan Ida, dirinya ditugaskan oleh Presiden Jokowi untuk merumuskan paling banyak lima Peraturan Pemerintah (PP) yang menjadi regulasi turunan dari UU Cipta Kerja.

Pemerintah, kata Ida, membuka diri bagi serikat buruh selama proses perumusan PP.

Pihaknya mengundang sejumlah serikat buruh yang selama ini melakukan demo untuk menolak pasal-pasal yang ada di UU Omnibus Law Cipta Kerja.

"UU Cipta Kerja ini memerintahkan untuk ada pengaturan lebih detailnya dalam PP, direncanakan minimal tiga PP, maksimal lima PP yang disiapkan," kata Ida, seperti yang diberitakan Kompas.com.

Bukan Orang Sembarang, Sosok Sari Labuna Mahasiswi yang Ditangkap saat Demo Tolak UU Cipta Kerja

Ngaku Diundang dan Dibayar, Banyak Pelajar STM Ditangkap saat Demo Tolak UU Cipta Kerja di Jakarta

Jawaban Pelajar Ditanya Maksud Demo, Buat Kapolres Geleng-geleng : Itu Pak, Demo Tentang Bus Law Itu

Menurutnya, berbagai PP yang akan mengatur klaster ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja tersebut, rencananya akan diselesaikan pada akhir Oktober 2020 ini.

"Arahan Bapak Presiden dalam akhir Oktober ini seluruh peraturan pemerintah itu akan kita selesaikan," tegas Ida.

Pembuatan PP klaster ketenagakerjaan itu akan melibatkan seluruh pemangku kepentingan ketenagakerjaan, termasuk serikat buruh/pekerja dan dunia usaha yang diwakilkan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).

 

Ida meminta bantuan untuk menyampaikan hasil sosialisasi itu kepada serikat pekerja dan dunia usaha.

Menurut Ida, saat ini banyak simpang siur isu dan distorsi informasi tentang UU Cipta Kerja, terutama klaster ketenagakerjaan.

Keinginan Presiden Jokowi di UU Cipta Kerja

Jokowi saat konferensi video dari Istana Merdeka, Jakarta, pada Kamis, 24 September 2020
Jokowi saat konferensi video dari Istana Merdeka, Jakarta, pada Kamis, 24 September 2020 (https://www.setneg.go.id/)

UU Cipta Kerja mewujudkan keinginan Presiden Jokowi untuk menerbitkan ombibus law yang dapat merevisi banyak undang-undang sekaligus.

Dilihat ke belakang, keinginan Jokowi tersebut sudah ia sampaikan sejak dilantik bersama Wapres Ma'ruf Amin pada 20 Oktober 2019 silam.

Melalui pidatonya, Presiden Jokowi menyoroti tumpang tindih pada berbagai regulasi yang menghambat investasi serta pertumbuhan lapangan pekerjaan.

Maka dari itu, Presiden Jokowi menyampaikan niatnya untuk mengajak DPR menyusun omnibus law, sebuah undang-undang yang bisa merevisi banyak UU.

"Puluhan undang-undang yang menghambat penciptaan lapangan kerja langsung direvisi sekaligus," kata Jokowi, yang Tribunnews kutip dari Kompas.com.

 

Tidak lama setelah pidato itu, Jokowi langsung memerintahkan jajarannya untuk membuat draf omnibus law Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja.

Saat penyusunan draf masih berjalan di tingkat pemerintah, Jokowi bahkan sudah menyampaikan harapannya ke DPR agar bisa merampungkan pembahasan RUU ini dalam 100 hari.

"Saya akan angkat jempol, dua jempol, kalau DPR bisa selesaikan ini dalam 100 hari," ujar Jokowi dalam pertemanan tahunan industri keuangan 2020 pada pertengahan Januari.

Pada 12 Februari 2020, draf RUU Cipta Kerja yang disusun oleh pemerintah akhirnya rampung.

Pemerintah mengeklaim, penyusunan RUU tersebut sudah melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pengusaha dan buruh.

Melalui Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah, draf RUU tersebut diserahkan kepada DPR.

 

Pemerintah sempat mengubah nama RUU itu menjadi RUU Cipta Kerja.

Kata "lapangan" dalam penamaan sebelumnya diputuskan untuk dihapus.

RUU ini kemudian mulai dibahas DPR pada 2 April 2020 dalam Rapat Paripurna ke-13.

UU Cipta Kerja Dinilai Berpotensi Perbudak Bangsa

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Fraksi PKS, Bukhori Yusuf mengatakan, UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan menyimpan potensi ancaman terhadap kedaulatan bangsa.

Seperti yang diberitakan Tribunnews sebelumnya, terdapat dua isu utama yang menjadi sorotan Fraksi PKS, yakni kedaulatan Sumber Daya Manusia (SDM) dan kedaulatan Sumber Daya Alam (SDA).

Bukhori menyebutkan, ia menyoroti isu terkait kedaulatan SDM, dalam hal ini kedudukan kaum pekerja yang terancam dieksploitasi oleh kaum pemilik modal.

"Pengesahan RUU Cipta Kerja seolah tusukan dari belakang di tengah perjuangan masyarakat kita yang sedang sulit karena harus menghadapi pandemi."

"Harga diri bangsa kita, khususnya para kaum pekerja, terancam diinjak-injak oleh kepentingan kaum kapitalis yang tengah bersorak sorai."

"Mereka tengah bersuka cita karena pada akhirnya bisa menghisap habis tenaga kaum buruh di segala jenis pekerjaan tanpa terkecuali melalui status kontrak seumur hidup," kata Bukhori melalui keterangannya, Jumat (9/10/2020).

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bukhori Yusuf.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bukhori Yusuf. (DPR RI)

 

Ketua DPP PKS ini menjelaskan alasannya terkait UU Cipta Kerja yang berpotensi memperbudak bangsa sendiri.

Ia menilai, melalui UU Cipta Kerja, ketentuan outsourcing (pemborongan pekerjaan) bisa diterapkan di semua jenis pekerjaan.

Bukhori menjelaskan, dalam Pasal 65 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ketentuan terkait pemborongan pekerjaan (outsourcing) dapat dilakukan sepanjang memenuhi syarat berikut:

(1) dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

(2) dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;

(3) merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;

(4) tidak menghambat proses produksi secara langsung.

"Celakanya, di dalam Omnibus Law UU Cipta Kerja justru menghapus pasal tersebut (red; pasal 65 UU 13/2003) yang memberikan batasan terhadap outsourcing."

"Artinya, outsourcing bisa bebas diterapkan di semua jenis pekerjaan tanpa terkecuali," ucapnya.

Padahal, lanjut dia, dalam UU 13 Tahun 2003, outsourcing hanya dibatasi di 5 (lima) jenis pekerjaan, (cleaning service, keamanan, transportasi, catering, dan jasa migas pertambangan) sebagaimana telah diatur dalam Pasal 66 Ayat (1).

 

"Sedangkan dalam Omnibus Law Pasal 66 ayat (1) tersebut dihapus. Artinya, semua jenis pekerjaan bisa di-outsourcing sehingga membuka ruang yang besar bagi perbudakan modern (modern slavery)."

"Konsekuensinya, apabila outsourcing dibebaskan, maka hilang job security dan kepastian bagi buruh untuk memperoleh jaminan kerja yang memadai," katanya.

"Hidup mereka tidak tenang karena selalui diliputi kecemasan dan ancaman pemutusan kerja sepihak sewaktu-waktu."

"Maka sudah semestinya Negara hadir melindungi rakyatnya dari perdagangan tenaga manusia oleh agen outsourcing ini dan secara serius memperjuangkan masa depan yang layak bagi kaum pekerja. Karena itu, saya meminta agar kita kembali pada UU No 13/2003," imbuhnya.

Sementara di kedaulatan SDA, ia menyebutkan bahwa pengesahan omnibus law memaksa kehidupan petani semakin terancam oleh pembukaan keran impor untuk kebutuhan pangan.

Pasalnya, omnibus law berdampak juga pada pasal UU No. 18/2012 tentang pangan.

Sebelumnya, ketentuan Pasal 1 angka 7 UU No. 18/2012 tentang pangan disebutkan:

"Ketersediaan Pangan adalah kondisi tersedianya pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional yang bersumber dari hasil produksi dalam negeri dan atau impor apabila sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan."

Akan tetapi di dalam omnibus law tersebut, ketentuan itu berubah menjadi:

"Ketersediaan Pangan adalah kondisi tersedianya pangan dari hasil produksi dalam negeri, cadangan pangan nasional, dan impor pangan."

 

"Jika dicermati lebih dalam, ketentuan baru versi UU Cipta Kerja seolah meligitimasi impor pangan sebagai sumber utama penyediaan pangan dalam negeri."

"Padahal di UU eksisting, pilihan impor pangan hanya diambil apabila sumber utama belum memenuhi kebutuhan dalam negeri."

"Konsekuensinya, industri pertanian dalam negeri terancam, khususnya kesejahteraan petani yang kelak terabaikan," kata Bukhori.

"Sehingga semakin jelas terlihat, bahwa Omnibus Law telah menghilangkan keberpihakan Negara terhadap kepentingan anak bangsa untuk berdaulat di atas negeri sendiri," imbuhnya.

(Tribunnews.com/Whiesa/chaerul umam) (Kompas.com/Muhammad Idris/Ihsanuddin)

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Setelah UU Cipta Kerja Disahkan DPR, Apa Rencana Presiden Jokowi Selanjutnya? Ini Kata Menaker

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved