Kisah Kim Il Sung Kakek dari Kim Jong Un Dirikan Korea Utara, Ternyata Mantan Tentara Uni Soviet
Suksesi di negara paling tertutup di dunia, Korea Utara menjadi perhatian media barat setelah beredar kabar sang diktator Kim Jong Un
Kapten Tentara Soviet
Pada musim panas 1942, partisan Korea yang berlindung di sisi lain perbatasan Soviet disatukan oleh militer Soviet ke Brigade Senapan Khusus Ke-88, yang mencakup satu batalion Korea dan dua batalion Tiongkok.
Partisan Tiongkok Zhou Baozhong, yang ditugaskan memimpin brigade internasional, mengenal Kim Il-sung dari perang gerilya. Atas rekomendasinya, Kim ditunjuk sebagai komandan batalion Korea dengan pangkat kapten Tentara Merah Buruh dan Petani.
Menurut pengawas Rusia tentara Korea, “Kapten Tentara Merah Kim adalah orang yang baik — dia ramah, terbuka, dan ceria,” kata Vladimir Tolstikov, mantan pejabat Biro Informasi Soviet di Pyongyang, yang berbicara secara langsung dengan banyak peserta kunci dalam peristiwa yang menentukan bagi Korea, di antaranya Kim Il-sung.
Brigade Ke-88 tidak ikut dalam peperangan melawan Jepang, dan dibubarkan setelah Tokyo menyerah.
Seluruh perang yang Kim Il-sung habiskan jauh dari garis depan di hutan Rusia yang terpencil di Khabarovsk.

“Menurut memoarnya, Kim Il-sung melihat masa depannya cukup jelas: dinas militer, akademi, komandan resimen atau divisi.
Siapa tahu, kalau jalan sejarah sedikit berbeda, bukan tidak mungkin bahwa seorang kolonel Soviet tua atau bahkan mayor jenderal bernama Kim Il-sung akan pensiun di Moskow, dan putranya Yuri akan bekerja di beberapa institut penelitian ilmiah,” tulis Lankov.
Namun, komandan-komandan Sovietnya punya rencana lain untuk sang partisan Korea.
Dia ditugaskan untuk memastikan komunikasi antara militer Soviet dan penduduk lokal di Pyongyang.
“Pyongyang adalah kota terbesar yang diduduki pasukan Soviet, dan perwira Korea paling senior di Brigade Ke-88 adalah Kim Il-sung, jadi tidak heran ia ditunjuk sebagai asisten komandan ibu kota Korea Utara di masa depan,” tulis Lankov.

Pada 14 Oktober 1945, di Stadion Kota Pyongyang, Jenderal Soviet Ivan Chistyakov menganugerahkan gelar “pahlawan nasional” dan “pemimpin partisan yang terkenal” Kim Il-sung di hadapan kerumunan rakyat Korea, diikuti pidato oleh Kim sendiri untuk mendukung para pembebas Soviet.
Metamorfosis dari kapten tentara Soviet biasa menjadi Pemimpin Besar Kamerad Kim Il-sung ini dapat ditelusuri hingga kini.
Tahun-tahun berikutnya, dunia melihat kekuatan yang baru lahir di Korea Utara menjadi terkonsentrasi penuh di tangan besinya, menjadikan negara itu tempat paling terisolasi secara diplomatis di dunia.
“Kami sering bertemu di acara-acara resmi,” kata Tolstikov mengenang pertemuannya dengan Kim Il-sung, “Bahasa Rusianya tidak bagus, tetapi ia bisa berbicara.
Saya ingat dua aforisme yang kerap ia ulangi, ‘Rakyat itu sakral’ dan ‘Jika langit runtuh, kita akan selamat’.”