Para Pakar Sebut Jika tak Mudik, Puncak Pandemi COVID-19 Diprediksi Pertengahan Mei

Tim tersebut membuat berbagai macam prediksi, mulai dari prediksi jumlah kasus terinfeksi, kasus meninggal dunia, hingga prediksi jumlah kasus jika mu

Editor: Weni Wahyuny
(KOMPAS.com / ANDRI DONNAL PUTERA )
ILUSTRASI MUDIK - Pemudik memadati gerbang keberangkatan Terminal 1B Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Jumat (23/6/2017) dini hari. Puncak arus mudik via Bandara Soekarno-Hatta diprediksi jatuh pada hari ini dan Sabtu (24/6/2017) besok. 

Data lainnya berasal dari Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek. Sebanyak 56 persen warga Jabodetabek tidak mudik, 37 persen masih mempertimbangkan dan tujuh persen telah mudik.

Kemudian, muncul asumsi 20 persen penduduk di Jabodetabek mudi ke provinsi lain di Pulau Jawa.

Puncak kasus pertengahan Mei

Pandu juga memprediksi puncak pandemi Covid-19. Menurut dia, puncak pandemi kemungkinan terjadi pada pertengahan Mei 2020.

"Pertengahan bulan Mei sudah meningkat drastis, itu hariannya ya," ujar Pandu.

"Jadi di saat itulah, kalau enggak ada mudik. Kalau ada mudik itu agak meningkat drastis lagi pas Lebaran," kata dia.

Pandu mengatakan, pemerintah harus menekan jumlah pasien terinfeksi pada puncak pandemi, salah satu caranya dengan memperlambat capaian puncak pandemi Covid-19.

Menurut Pandu, pelambatan puncak pandemi jika dibarengi dengan kebijakan pencegahan yang baik akan bisa menekan jumlah penambahan kasus di puncak masa pandemi.

Kebijakan yang dimaksud Pandu adalah melakukan tes massal dengan lebih masif dan meluas, serta pemberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan lebih baik.

"Kalau penularan menurun itu artinya yang tadinya diharapkan puncaknya bulan Mei mungkin bisa bulan Juni karena ada slowing down," kata dia.

Pelambatan puncak pandemi ini, menurut Pandu, berkaitan dengan teori flattening the curve atau pelandaian kurva kasus pasien terinfeksi.

Ia mengatakan, jika jumlah kasus terus menurun karena kebijakan pemerintah, akan mempermudah rumah sakit menampung pasien Covid-19 dengan lebih maksimal.

Dengan demikian, lanjut Pandu, penanganan Covid-19 menjadi lebih baik dan jumlah pasien terinfeksi saat puncak pandemi tidak terlalu tinggi.

"Jadi kita punya dua tujuan merendahkan jumlah kasus jadi puncaknya tidak tinggi dan juga terjadinya kasusnya yang lebih rendah itu tidak lebih cepat jadi lebih lambat," ujar Pandu.

Waspadai pandemi gelombang kedua

Kendati demikian, menurut Pandu, Indonesia bisa saja mengalami pandemi virus corona atau Covid-19 gelombang kedua.

Hal itu, kata dia, terjadi jika masyarakat dan pemerintah lalai saat terjadi penurunan jumlah kasus pasien terinfeksi virus corona.

"Bisa saja (pademi gelombang kedua). Di mana-mana juga bisa, misalnya sudah turun ya kita harus melakukan penekanan," ujar dia. 

Pandu mengatakan, pandemi gelombang kedua terjadi saat ada penurunan jumlah kasus pasien positif Covid-19.

Namun, tiba-tiba terjadi lagi pelonjakan jumlah pasien. Kondisi itulah, menurut Pandu, yang disebut pandemi Covid-19 gelombang kedua.

"Nanti ada penurunan. kalau sudah terjadi penurunan, kita lalai kita enggak waspada itu bisa naik lagi," kata Pandu.

"Yang disebut gelombang kedua itu yang disebut gelombang pertamanya sudah selesai sudah ada penurunan," ucap dia.

Oleh karena itu, Pandu berharap pemerintah dan masyarakat tidak lalai dalam menghadapi Covid-19.

Salah satu caranya dengan menerapkan PSBB dan tidak mudik saat Lebaran.

"Kalau kita lalai kita tidak boleh terlena. Ini saja terlambatnya sudah sebulan lebih PSBB saja repotnya setengah mati harus pakai birokrasi," ucap Pandu. (Kompas.com/ Sania Mashabi/ Icha Rastika)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Prediksi Pakar soal Covid-19: Capai 1,3 Juta Kasus, Puncak Pandemi, hingga Gelombang Kedua"

Sumber: Kompas
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved