Calo Penerimaan Polri
Oknum Pensiunan Kombes dan AKBP Diadili Dalam Kasus Calo Penerimaan Polri, Keduanya Raup Rp 6 Miliar
Dua perwira menengah polisi yang menjadi terdakwa dalam kasus suap penerimaan Polri di Polda Sumsel mulai diadili di PN Palembang
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Dua perwira menengah polisi yang menjadi terdakwa dalam kasus suap penerimaan Polri di Polda Sumsel mulai diadili di PN Palembang.
Kedua terdakwa yakni Kombes Pol (Purn) Drg Soesilo Pradoto MKes yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Bidang Dokter Kesehatan (Kabid Dokkes) Polda Sumsel.
Serta AKBP Syaiful Yahya SSi yang sebelumnya menjabat Kasubbid Kespol Biddokkes Polda Sumsel.
Kasus dugaan gratifikasi penerimaan calon Siswa (Casis) Bintara Polri tahun 2016 yang menyeret dua oknum polisi Polda Sumsel, kini memasuki ranah persidangan.
Dalam dakwaannya, JPU menyebut bahwa hasil dugaan gratifikasi ini mencapai hingga Rp.6 miliar.
Uang tersebut didapat dari 25 orang calon Bintara yang mengikuti seleksi penerimaan Bintara Umum dan Bintara Penyidik Pembantu POLRI Tahun Anggaran (TA) 2016.
• Virus Corona Rapuh Terhadap Deterjen Jenis Apapun, Pastikan Alat Makan Dicuci Bersih
• Gubernur Tetapkan Sumsel Status Waspada Corona, Tunjuk Prof Yuwono Jadi Juru Bicara
Disebutkan bahwa para terdakwa menjanjikan kelulusan bagi Casis yang bersedia membayar sejumlah uang ke mereka.
"Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya," ujar JPU saat membacakan dakwaan pada
sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor Palembang, Senin (16/3/2020).
Keduanya disebut JPU menerima hasil yang berbeda dari perkara ini.
Drg Soesilo Pradoto disebut menerima uang sebesar Rp 3 miliar.
Sedangkan 1,5 miliar dari total Rp 6 miliar yang diduga berhasil diraup dari 25 Casis yang menjadi korbannya.
"Bahwa terdakwa telah melakukan atau turut serta melakukan, menerima hadiah atau janji yaitu menerimauang tunai," tegas JPU.
Sementara itu, pantauan Tribunsumsel.com, kedua terdakwa hadir ke persidangan tampak banyak menundukkan kepalanya dihadapan majelis hakim yang diketuai Abu Hanifah SH MH.
Setelah persidangan, kedua terdakwa yang kompak menggunakan baju lengan panjang putih dan celana dasar hitam tersebut juga langsung berjalan menuju ke mobil tahanan.
Sebelumnya diketahui kasus ini berhasil diungkap pada tahun 2016 silam.
Adapun modus operandi dari para tersangka yakni, Kombes Pol (Purn) drg. Soesilo Pradoto yang saat itu menjabat sebagai Kabiddokkes Polda Sumsel sekaligus ketua Rikkes dalam penerimaan brigadir tahun 2016, memberikan arahan kepada AKBP Syaiful Yahya selaku sekretaris tim Rikkes.
Arahan tersebut yaitu Kombes Pol (Purn) drg. Soesilo Pradoto memerintahkan AKBP Syaiful Yahya untuk menjadi koordinator penerimaan polri dengan menetapkan biaya sebesar Rp.250 juta per Casis yang membutuhkan bantuan untuk lolos dalam tes kesehatan dan psikologi.
"Jadi modusnya adalah drg. SP memerintahkan, kalau ada (Casis) yang minta tolong lolos tes kesehatan dan psikologi, jalurnya melalui AKBP SY," ujar Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Palembang Asmadi, melalui Kasi Pidsus Kejari Palembang Dede, saat ditemui Kamis (23/1/2020).
Dikatakan Dede, selain Kombes Pol (Purn) kedua terdakwa, masih ada satu orang lagi yang ditetapkan sebagai tersangka.
"Tapi berkas satu tersangka itu masih P19. Jadi, selama masa penyelidikan tidak dilakukan penahanan. Setelah berkasnya dinyatakan lengkap, barulah kedua tersangka ini menjalani masa tahanan di mabes polri selama satu minggu dan kemudian dilimpahkan ke kami," ujarnya saat itu.
Kedua kini terancam dijerat melanggar dengan pasal 12 huruf A dan atau Pasal 5 ayat (2) huruf a dan atau pasal 11 dan atau pasal 5 ayat (1) huruf a dan atau pasal 13 undang undang nomer 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Sebagaimana yang telah diubah dengan undang undang nomer 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang undang nomer 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke 1 jo pasal 65 ayat (1) KUHP dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara dengan denda Rp.1 Milyar.