Ditanya Uang Suap Untuk Komisioner KPU Wahyu Dari Sekjen PDIP Hasto, Tersangka SAE : Iya, Iya

Ditanya Uang Suap Untuk Komisioner KPU Wahyu Dari Sekjen PDIP Hasto, Tersangka SAE : Iya, Iya

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto 

TRIBUNSUMSEL.COM - Nama Sekjen PDIP Hasto Kristianto diseret oleh stafnya SAE atau Saeful dalam kasus suap kepada Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan (WS).

Dua staf khusus Hasto Kristianto di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ikut dicokok dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Staf khusus Hasto Kristiyanto kena OTT KPK adalah DON dan SAE.

SAE adalah Saeful Bahri, orang kepercayaan Hasto, yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

Setelah dicecar wartawan, Jumat (10/1/2020) dini hari, Saeful akhirnya membongkar sumber dana suap kepada Komisioner KPU Wahyu Setiawan.

Ketika dicecar keterlibatan Hasto dan apakah uang itu bersumber dari yang bersangkutan, Saeful menjawab singkat "Iya, iya."

Hasto Kristianto sendiri sampai sejauh ini belum memberikan klarifikasi.

Tetapi, Ketua DPP PDI Perjuangan Djarot Saiful Hidayat mengungkapkan Hasto sedang sakit diare sehingga sulit dihubungi dan tidak terlihat di arena Rakernas PDIP.

Perlahan-lahan, kasus korupsi yang diduga melibatkan komisioner KPU, pimpinan partai politik, pengacara, dan calon anggota legislatif dari partai moncong putih mulai terkuak.

Berikut adalah Kronologi Penangkapan Komisioner KPU yang ditulis di Antaranews.

Komisioner KPU Wahyu Setiawan resmi ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi terbaru yang terjaring OTT KPK.

Saat ditangkap, Wahyu bersama asistennya berinisial RTO yang ikut menyaksikan peristiwa penangkapannya tersebut di Bandara Soekarno Hatta Cengkareng Jakarta Barat.

Wahyu disangka sebagai penerima suap proyek pergantian antar-waktu anggota DPR RI Fraksi PDI-P yang meninggal dunia Nazaruddin Kiemas.

Secara paralel, tim KPK pun menangkap orang kepercayaan Wahyu yang merupakan mantan anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan juga mantan caleg PDI-P, Agustiani Tio Fridellina, di Depok Jawa Barat.

Tim KPK juga menangkap pihak swasta berinisial SAE dan sopirnya berinisial I, serta seorang advokat berinisial DON di sebuah restoran di Jalan Sabang, Jakarta Pusat.

SAE dan DON disangka sebagai mediator yang ditunjuk tersangka lainnya yang menjadi pemberi suap kepada Wahyu yakni Politikus PDI Perjuangan Masiku Harun.

Harun Masiku disangka menyuap Wahyu agar bisa mempengaruhi keputusan dalam rapat pleno komisioner KPU RI dan menunjuknya sebagai anggota DPR RI pengganti antar-waktu legislatif terpilih dari PDI-P yang meninggal dunia Nazaruddin Kiemas.

Wahyu dinilai menyanggupi permintaan tersebut dengan memberi jawaban, "Siap, mainkan!"

Sebuah jawaban yang dinilai oleh Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar, bagai sebuah kode Wahyu menyanggupi untuk ikut bermain di dalam proyek tersebut.

"ATF (mantan anggota Bawaslu, Agustiani Tio Fridellina) mengirimkan dokumen dan fatwa MA yang didapat dari SAE (Saeful) kepada WSE (Wahyu) untuk membantu proses penetapan HAR (Harun) dan WSE menyanggupi membantu dengan membalas, 'Siap, mainkan!'," kata Lili dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kamis.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Arief Budiman menyebutkan koleganya, Wahyu Setiawan, sedianya dijadwalkan melakukan penerbangan untuk tugas menyosialisasikan pemilu ke Belitung.

Wahyu memang jadwalnya melaksanakan tugas ke Belitung, kata Arief Budiman kepada wartawan di Kantor KPU RI, Jakarta, Rabu (8/1) malam.

Tidak hanya Wahyu, kata dia, sejumlah komisioner KPU RI lainnya juga bertugas ke luar daerah, yakni Evi Novida Ginting diundang sebagai pemantau internasional pemilu di Taiwan dan Viryan Aziz yang berangkat ke Toraja.

Namun diketahui berdasarkan keterangan Arief, Wahyu tak sempat mengikuti jadwal penerbangan tersebut karena lebih dulu terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK sewaktu masih di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Jakarta Barat.

Tidak Ingat
Arief Budiman mengaku tidak mengingat kapan Wahyu pernah mendorong dipilihnya caleg PDI Perjuangan Harun Masiku sebagai anggota DPR-RI pengganti antar-waktu (PAW) dalam rapat pleno KPU RI pada 31 Agustus 2019 silam.

Namun, ia ingat jika saat itu semua peserta rapat bersepakat bahwa keputusan rapat adalah memilih Politikus PDI-P Riezky Aprilia sebagai anggota DPR RI pengganti antar-waktu almarhum Nazaruddin Kiemas.

Semua sepakat karena Udang-Undang mengatakan begitu, kata Arief dalam konferensi pers di Gedung KPK RI, Jakarta, Kamis malam.

Pemilihan Riezky Aprilia, alih-alih memilih Masiku Harun seperti keinginan PDI-P dikatakannya telah sesuai aturan yang berlaku, yakni supaya pengganti caleg terpilih yang tidak mampu menjalankan tugasnya adalah caleg peringkat suara terbanyak berikutnya.

Terkait putusan Mahkamah Agung pada 19 Juli 2019 yang menyatakan partai sebagai penentu suara dan PAW, Arief mengakui itu tidak dapat dijalankan karena berseberangan dengan Undang-Undang Pemilu.

Itu tidak mungkin bisa dijalankan, lanjut Arief karena Undang-Undang yang mengatur proses Pemilu tidak mengatur demikian. Kalau ada dituangkan dalam sertifikat berita acaranya.

Terkait benar tidaknya Wahyu Setiawan mengupayakan agar Harun Masiku yang dipilih menggantikan Nazarudin Kiemas, KPU memandang sengketa hasil pemilu hanya dapat digugat melalui Mahkamah Konstitusi.

Arief pun menegaskan kebijakan KPU RI menunjuk Riezky Aprilia terkait anggota PAW DPR RI tersebut sudah final.

Namun, SAE yang diklaim sebagai pihak swasta oleh KPK, kemudian menghubungi Agustiani Tio Fridelina (ATF), orang kepercayaan Wahyu yang juga mantan caleg PDI-P untuk melakukan lobi agar Wahyu mengabulkan Masiku Harun sebagai anggota DPR RI pengganti antar-waktu.

Selanjutnya, Agustiani mengirimkan dokumen dan fatwa MA yang didapat dari SAE kepada Wahyu untuk membantu proses penetapan Harun.

WSE (Wahyu) menyanggupi membantu dengan membalas 'Siap, mainkan!, kata Lili menjelaskan kronologi kasus ini.

Untuk membantu penetapan Harun sebagai anggota DPR RI PAW, Wahyu diduga meminta dana operasional mencapai Rp 900 juta.

Untuk merealisasikan hal tersebut dilakukan dua kali proses pemberian,ucap Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar saat jumpa pers di gedung KPK, Jakarta, Kamis.

Pertama, lanjut dia, pada pertengahan Desember 2019, salah satu sumber dana memberikan uang Rp400 juta yang ditujukan pada Wahyu melalui Agustiani, advokat DON, dan SAE.

Wahyu menerima uang dari dari ATF sebesar Rp200 juta di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan, ungkap Lili.

Kemudian, pada akhir Desember 2019, Harun memberikan uang pada SAE sebesar Rp850 juta melalui salah seorang staf di DPP PDIP.

Lili melanjutkan, SAE memberikan uang Rp150 juta pada DON. Sisanya Rp700 juta yang masih di SAE dibagi menjadi Rp450 juta pada ATF, Rp250 juta untuk operasional.

Dari Rp450 juta yang diterima Agustiani, kata Lili, sejumlah Rp400 juta merupakan suap yang ditujukan untuk Wahyu, namun uang tersebut masih disimpan oleh Agustiani.

Pada Selasa (7/1) berdasarkan hasil rapat pleno, lanjut dia, KPU menolak permohonan PDIP untuk menetapkan Harun sebagai PAW dan tetap pada keputusan awal..

Setelah gagal di Rapat Pleno KPU, Wahyu kemudian menghubungi DON dan menyampaikan telah menerima uangnya dan akan mengupayakan kembali agar Harun menjadi PAW.

Pada Rabu (8/1),ujar Lilu, Wahyu meminta sebagian uangnya yang dikelola oleh ATF. Tim menemukan dan mengamankan barang bukti uang RP400 juta yang berada di tangan ATF dalam bentuk dolar Singapura.

Artikel ini telah tayang di Wartakotalive

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved