Kisah Legiman Pengemis Asal Pati Jawa Tengah, Ngaku Punya Uang 900 Juta Sampai Rumah Mewah
Awal Januari lalu sesosok pengemis bernama Legiman membuat geger warga Jawa tengah.Legiman tertangkap oleh satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Pati
Penulis: Mochamad Krisnariansyah |
TRIBUNSUMSEL.COM -- Awal Januari lalu sesosok pengemis bernama Legiman membuat geger warga Jawa tengah.
Legiman tertangkap oleh satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Pati dalam operasi penertiban.
Disini Legiman menguak pengakuan mengejutkan mengenai jati diri kehidupannya.
Bagaimana tidak meski statusnya pengemis, Legiman menyebut punya tabungan senilai Rp 1 Miliar.
Legiman juga membeberkan harga rumah miliknya di Margorejo, Pati, senilai Rp 250 juta.
Serta sebidang tanah seharga Rp 275 juta berada di kampungnya.
Adapun jika ditotal kekayaan Legiman mencapai Rp 1. 4 Miliar rupiah.
Legiman kepada petugas menyebut dalam sehari dirinya bisa mendapatkan uang Rp 1 Juta.
Lalu apakah benarkah Legiman pengemis kaya raya dan rumah mewah ?
Dilansir dari Tribunjateng coba menelusuri tempat tinggal dan melihat kehidupan sehari-hari Legiman.
Sebelumnya, Satpol PP Kabupaten Pati menerangkan bahwa pengemis yang terjaring razia di alun-alun Kota Pati tersebut mengaku memiliki kekayaan senilai lebih dari Rp 1 miliar.
Satpol PP Pati juga memberi keterangan bahwa pengemis tersebut tinggal di Perumahan Ngawen, Margorejo.
Kepala Desa Ngawen, Sunarto, Selasa (15/1/2019) membantah keterangan bahwa Legiman merupakan warga Desa Ngawen.
“Saya sudah mengonfirmasi ke semua perangkat desa. Pengemis yang diberitakan tersebut bukan warga kami. Dia bukan warga Ngawen,” tegas Sunarto.
Sunarto menambahkan, kemungkinan perumahan yang dimaksud ialah Perumahan Gunung Bedah.
Meski letaknya berdekatan dengan Desa Ngawen, namun perumahan tersebut masuk ke dalam teritori Desa Pegandan.
Tribunjateng.com kemudian menelusuri dan bertemu warga Perumahan Gunung Bedah, sebut saja Farida, yang rumahnya sekira 70 meter dari gapura perumahan.
Menurut Farida, karena letaknya sangat dekat dengan gapura Desa Ngawen, banyak orang memang menyebut Perumahan Gunung Bedah sebagai Perumahan Ngawen.
Ketika ditunjukkan foto Legiman, Farida menjawab, “Saya enggak tahu orang ini. Sepertinya bukan warga sini. Tapi mungkin dia di wilayah perumahan yang masuk Desa Sokokulon. Soalnya perumahan ini terbagi ke dua desa, yakni Desa Pegandan dan Sokokulon.”
Tribunjateng.com kemudian menuju ujung barat perumahan yang merupakan bagian dari wilayah Sokokulon.
Di sana, Sundari, bukan nama sebenarnya, seorang pemilik warung sembako mengaku mengenal Legiman.
“Ya Allah, njenengan nyari orang ini? Rumahnya yang itu,” ujar Sundari sambil menunjuk sebuah rumah bercat abu-abu.
Rumah yang catnya telah mengelupas di beberapa bagian itu tidak jauh dari rumah Sundari, hanya sekira 30 meter.
“Dia mengontrak di sini. Pemilik rumah itu bernama Pak Muh, warga Sokokulon,” lanjut Sundari.
Menurut Sundari, Legiman tinggal seorang diri di rumah yang harga sewanya Rp 400 ribu per bulan tersebut.
Namun, adik laki-laki Legiman sering datang berkunjung.
“Terus terang saya tidak terlalu mengenal dia. Sebab dia tidak pernah berbaur dengan warga. Beli di warung saya juga tidak pernah.
Saya lihat dia paling kalau pagi. Setiap pagi dia menyapu halaman.
Setahu saya adik laki-lakinya setiap hari selalu antar-jemput dia. Setiap pagi juga adiknya mengantarkan makanan,” terangnya.
Sundari mengaku merasa kasihan pada Legiman, karena ia tak memiliki istri maupun anak.
Sundari juga mengetahui jika Legiman sehari-hari mencari nafkah dengan mengemis.
Namun, ia terkejut ketika Tribunjateng.com memberitahukan bahwa Legiman pernah didapati Satpol PP Pati memperoleh uang lebih dari Rp 1 juta dalam satu hari.
“Wah, saya baru tahu kalau penghasilannya sebanyak itu. Saya pernah melihat dia mengemis di sekitar Puri.
Tapi waktu itu dia menunduk, mungkin karena malu. Saya sampai merinding dengar penghasilannya sebanyak itu,” tuturnya.
Sundari menjelaskan, setiap hari Legiman pulang malam dijemput adiknya. Setelah itu mereka menghitung uang.
“Kalau menghitung uang koin, suaranya kedengaran sampai rumah saya. Klunting, klunting, begitu,” tambahnya.
Setelah memperoleh keterangan dari Sundari, Tribunjateng.com segera mengunjungi rumah kontrakan yang ditinggali Legiman.
Dari jendela, tampak sosok Legiman, dengan bertelanjang dada, tengah makan sembari menonton televisi.
Tiga kali ketukan pintu dan satu kali ucapan salam belum cukup untuk memancing perhatian Legiman.
Ia tetap asyik menyantap nasi sambil menonton televisi.
Ketika Tribunjateng.com mengulangi ketukan pintu dan ucapan salam, barulah ia menoleh, membukakan pintu, dan mempersilakan masuk.
Rumah yang ditinggali Legiman tergolong sederhana.
Di ruangan tempat ia menjamu tamu terdapat dispenser, galon air mineral, kipas angin duduk, televisi tabung, dan kardus bekas mie instan berisi lembar-lembar uang dua ribuan dan kertas-kertas sobekan buku tulis.
Kesan ramah dan ceria tampak dari cara Legiman menyambut tamu.
Ia mematikan televisi, kemudian menunjukkan bahwa ia tengah makan dan meminum minuman berwarna merah muda.
Namun, Legiman memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi.
Ia tunawicara. Ada sedikit kesulitan memahami perkataannya.
Namun, ada beberapa keterangan dari Legiman yang berhasil terhimpun.
Legiman juga memiliki keterbatasan fisik lain.
Ia berjalan terpincang-pincang dan tangan kanannya yang tampak lebih kecil dari tangan kirinya selalu terlipat di depan dada.
Ketika Tribunjateng.com menyebut “Satpol PP”, Legiman sontak merespons, “Adikku.… Adikku….”
Ia lalu mengambil ponsel dari kamarnya, menawari untuk meneleponkan sang adik.
Namun, Tribunjateng.com menolak tawaran Legiman secara halus.
Legiman kemudian menunjukkan nomor ponsel adikknya.
Tertulis “Rebih” di sana.
Kemudian, tanpa diminta, Legiman menunjukkan sebuah buku tulis yang lembar demi lembarnya penuh bertuliskan angka-angka.
“Itung… itung. Adikku itung,” ucapnya yang dapat ditangkap Tribunjateng.com.
Buku tersebut bertuliskan nominal-nominal uang.
Ketika halaman-halamannya dibalik, terdapat empat lembar kartu berwarna merah muda.
Keempat kartu tersebut merupakan kartu bukti pinjaman yang dikeluarkan satu Koperasi Simpan Pinjam yang beralamat di Tayu, Pati.
Keempat kartu tersebut bertuliskan empat nama yang berbeda.
Ketika ditanya apakah ia memiliki KTP, Legiman langsung masuk ke dalam kamarnya.
Sebentar kemudian menunjukkan selembar KTP.
KTP model lama (belum e-KTP) tersebut diterbitkan oleh Dispendukcapil Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat.
Dalam KTP yang telah habis masa berlakunya tersebut, diterangkan bahwa Legiman lahir di Pati pada April 1960.
Berarti kini ia berusia 58 tahun.
Apa selalu membawa KTP ketika mengemis?
Ia menjawab, “Tidak. Takut hilang.”
Sebentar kemudian, ia masuk kembali ke kamarnya, dan keluar dengan menenteng sebuah tas pinggang.
Ketika dibuka, tas tersebut penuh berisi uang kertas dan koin.
“Dari Pasar Tayu,” ucapnya.
Ia kemudian berkata, “Kecekel(tertangkap) Pol PP… Alun-alun… sesok (besok) Pasar Tayu.”
Menurut pemahaman Tribunjateng.com, Legiman menjelaskan bahwa setelah ia terjaring razia Satpol PP Kabupaten Pati pada Sabtu (12/1/2019) di Alun-Alun Kota Pati, keesokan harinya ia mengemis di Pasar Tayu.
“Kecekel pindo,” ujarnya, menjelaskan bahwa ia telah dua kali terjaring razia Satpol PP.
Apakah ia sehari-hari mencuci pakaian sendiri?
Legiman lantas mengajak Tribunjateng.com menuju ruang yang berada di bagian belakang rumahnya.
Ia menunjukkan tempatnya mencuci.
Kemudian menunjukkan kamar mandi.
Legiman lantas menunjukkan kompor dan peralatan masak di dapur.
“Iya, bisa masak sendiri,” katanya.
Berbeda dari keterangan Sundari, Legiman mengaku mengontrak di rumah tersebut dengan biaya Rp 4 juta per tahun.
Tribunjateng.com kemudian berterima kasih dan berpamitan pada Legiman.
Lantas menuju warung Sundari untuk berpamitan pula.
Di Warung Sundari, Santi, bukan nama sebenarnya, warga Perumahan Gunung Bedah lain, memberikan keterangan tambahan.
“Setiap pagi dia dijemput adik laki-lakinya. Saya pernah lihat, suatu hari ia diturunkan di dekat Simpang Lima TV. Kemudian naik angkot entah ke mana,” jelasnya.
Sebagaimana Sundari, ia juga mengaku selalu mendengar setiap kali Legiman dan adiknya menghitung uang.
“Dia selalu pulang malam. Dijemput adiknya antara pukul 21.00 sampai 22.00. Kalau menghitung uang, saya selalu dengar. Wong pintu rumahnya saja dibuka,” ucapnya. (*)