Kisah Idjon Djanbi EksTentara Belanda yang Jadi Mualaf dan Petani, Mantan Pelatih Kopassus
Mengenal Komando Pasukan Khusus (Kopassus), nampaknya tidak lengkap bila tidak mengenal sosok
Hidup di Indonesia
Kekalahan militer membuat Jepang hengkang dari Indonesia. Hal ini membuka peluang Belanda kembali berambisi menguasai.
Sehingga mereka tidak mampu mengirimkan pasukan bantuan dari Eropa ke Indonesia.
Saat itu, Belanda pun melakukan persiapan besar-besaran di Australia dan Sri Lanka untuk kembali ke Indonesia.
Pimpinan militer Belanda melihat perlu membentuk pasukan khusus baik darat maupun udara, yang dapat dengan cepat menerobos garis pertahanan Indonesia.
Setelah diangkat mejadi Panglima Tertinggi Tentara Belanda, Letjen Simon Spoor sebagai komandan KNIL di Hindia Belanda mengemukakan rencananya membentuk pasukan infanteri berkualifikasi komando serta pasukan payung (parasutis) yang memperoleh pelatihan istimewa.
Pada 13 Maret 1946, Letnan de Koning dan Letnan van Beek dipanggil dari Sri Lanka untuk membuka School Opleiding Parachutisten (Sekolah Penerjun Payung) pada 15 Maret 1946.

Agar tidak tercium pihak Republik, kamp pelatihan ditempatkan di Papua Barat.
Bulan April, lokasi pelatihan dipindah ke Hollandia (Jayapura) dari Biak.
Sekolah parasutis menempati sebuah bangunan rumah sakit milik Amerika yang telah ditinggalkan pasukan Jenderal Douglas MacArthur.
Ternyata Visser menyukai hidup di Indonesia. Meskipun kondisinya sangat berbeda dengan kehidupan di Eropa.
Ia sempat pulang ke Inggris menemui keluarganya dan meminta istrinya, perempuan Inggris yang dinikahinya semasa PD II serta keempat anaknya, untuk ikut ke Indonesia bersamanya.
Karena sang istri menolak, Visser memilih untuk bercerai. Tahun 1947, Visser kembali ke Indonesia.
Ternyata sekolah yang dipimpinnya sudah pindah ke Batujajar, Cimahi, Bandung.
Tidak lama, Visser dipromosikan menjadi kapten dengan jabatan Pelatih Kepala.