Kisah Jenderal Bintang Dua yang Tolak Nasi Kotak demi Nasi Bungkus,Sempat Ingin Jadi Profesor
Sosok Kapolda Sumsel Irjen Pol Zulkarnain Adinegara baru-baru ini membuat banyak netizen kagum dengan sikapnya
Sejak SD hingga SMA, pria kelahiran 31 Oktober 1961 itu sudah terbiasa bekerja membantu orang tuanya di sawah, termasuk mengembalakan ternak berupa sapi dan kambing. Itu jadi rutinitasnya sepulang sekolah.
"Saya anak kedua dari delapan bersaudara. Ayah ibu seorang petani, sesekali ayah nyopir antar kampung pakai mobil orang lain.
Kalau sekarang orang bilang Angkot. Ngantar-ngantarin orang. Karena anak petani, ya saya harus bantu orang tua, pulang sekolah nanam padi terus gembalakan ternak," katanya.
Dengan hidup keluarga yang pas-pasan, membuatnya sering terlambat membayar uang sekolah. Tak ayal, Zulkarnain pun sering ditindak karena itu.
"Dulu itu bayar uang sekolah sesuai kemampuan ekonomi, saya masuk kategori ekonomi di bawah, bayar sekolah pun murah, tapi sering macet pula, ya ditindak sama sekolah," tuturnya.

Selama masa itu pula tak pernah terlintas sedikit pun di kepala Zulkarnain kecil untuk menjadi seorang abdi negara seperti sekarang. Ia justru bertekad menjadi seorang profesor.
Dengan polos dia beranggapan, profesor merupakan orang yang pintar dan berilmu. "Saya tidak mengerti apa itu profesor, dalam pandangan saya profesor itu orang berpendidikan, terhormat," sebutnya.
"Masih kecil, cita-cita profesor itu pengennya, bahkan saya tulis di rumah saya itu, rumah saya rumah panggung, saya tulis dengan arang, 'Profesor Zulkarnain'. Itu angan-angan masa kecil, bagi saya profesor orang terhormat, orang pintar, tak terlintas sedikit pun menjadi polisi seperti sekarang," sebut Kapolda Irjen Zulkarnain.
Ketika itu, Irjen Zulkarnain mesti menempuh jarak tiga hingga lima kilometer dengan berjalan kaki atau sesekali bersepeda hanya untuk ke sekolah.
Dengan niat pantang surut, pria jebolan Akpol tahun 1985 tersebut akhirnya lulus hingga SMA, dan merantau ke Palembang, yang saat itu jaraknya setengah hari perjalanan dari kampung halamannya.
Di sana Zulkarnain tinggal menumpang dengan sanak saudara. Lantaran tidak punya uang dan kampung yang jauh, membuat ia jarang sekali pulang.
Namun disitulah perjalanan hidupnya dimulai. Berkat otak yang encer, ia pun dinyatakan lulus di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, sekitar tahun 1981.
”Cuma begini, masa itu kami dikenakan biaya uang pangkal/uang muka Rp33 ribu, harga sepatu Rp5 ribu. Bagi saya itu agak susah, tak punya uang, orang tua juga di kampung. Saya akhirnya tak bayar uang muka," ceritanya. Meski begitu, Zulkarnain tak lantas bersedih hati, ia yakin selalu ada jalan buat orang yang bersungguh-sungguh.
Dari sana, Tuhan ternyata punya jalan lain dalam kehidupannya. Berawal dari pertemanannya dengan seorang anak tentara, Zulkarnain pun ditawari untuk masuk Akabri (saat itu, red). "Saya tidak ngerti apa itu. Bapak teman saya itu kolonel. Karena saya sering ke rumah dia di Palembang, diajak daftar Akabri. Itu seingat saya di Kodam II Sriwijaya. Ya ikut daftar saja saya," ucapnya berseloroh.