Pebisnis Broiler Terus Merugi, Masyarakat Terancam Tak Makan Ayam

Usut punya usut, ternyata menurunnya bisnis ini karena over produksi. Alhasil harga ayam ditingkatan peternak terus merosot.

teknis-budidaya.blogspot.com
Peternakan ayam potong 

TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Para penggiat budidaya ayam broiler di Sumsel mulai terancam. Kerugian terus mendera dan para pebisnis ini terancam gulung tikar.

Jika para peternak mulai meninggalkan kandangnya maka alhasil masyarakat bisa sulit memakan daging ayam.

Usut punya usut, ternyata menurunnya bisnis ini karena over produksi. Alhasil harga ayam ditingkatan peternak terus merosot.

Penggiat budidaya broiler yang paling dihantam kondisi ini adalah peternak mandiri. Para peternak mandiri nyaris tak mendapatkan margin.

Ada dua model usaha budidaya ayam broiler yakni peternak mandiri dan peternak plasma. Peternak mandiri adalah peternak swadaya dengan biaya produksi sendiri.

Sementara peternak plasma menjalin kerjasama dengan perusahaan inti yang menyediakan sarana produksi peternakan (sapronak) dari mulai bibit, pakan dan obat-obatan. Peternak plasma cenderung lebih terproteksi karena harga jual dan biaya produksi sudah memiliki ketetapan.

"Bayangkan harga ayam di kandang per kilo hanya 13 ribu. Biaya produksi lebih dari itu," kata Toni Kurniawan, seorang peternak mandiri saat diwawancarai Tribun belum lama ini. Toni menambahkan ia terancam gulung tikar.

Ismaidi, Ketua Asosiasi Masyarakat Perunggasan (Ampera) Sumsel mengungkapkan sejumlah data. Ia menyebut bahwa saat ini perusahaan hatchery atau penyedia bibit Day Old Chicken (DOC) memproduksi lebih dari kebutuhan. Kelebihan ini karena ada kesalahan dalam proyeksi pertumbuhan bisnis.

Beberapa tahun lalu, pelaku bisnis ini memproyeksi bakal ada pertumbuhan. "Semula asumsi konsumsi per orang diproyeksikan di angka 10 kg per tahun. Inilah salahnya, padahal konsumsi tak bergerak, bahkan di angka 8 kg," katanya.

Alhasil perusahaan bibit memproduksi di angka proyeksi yang 10 kg, sementara konsumsi masih di angka 8 kg per tahun. Daging ayam akhirnya melimpah ruah.

Kondisi ini diperparah dengan masuknya DOC dari luar. "Beberapa tahun lalu DOC mungkin hanya dari Sumsel sendiri, tapi kini provinsi tetangga sudah banyak," katanya.

Menurut Ismaidi, sebenarnya bukan hanya para peternak mandiri saja yang terpukul dari kondisi ini. Perusahaan Inti yang bekerja sama dengan peternak kemitraan juga demikian. Bisnis perunggasan ini identik dan didominasi dengan pola kemitraan.

Jadi jika perusahaan inti banyak yang gulung tikar maka suplai ayam malah bisa terganggu. "Jangan sampai semua bisnis perunggasan berhenti dan kita terancam tak makan ayam lagi. Pemerintah harus segera turun tangan," kata Ismaidi.

Peran pemerintah menurut Ismaidi sangat penting untuk mengatur bisnis perunggasan di Sumsel. Mulai dari mengatasi over produksi sampai urusan tata kelola niaga yang sangat tradisonal.

"Saat ini karena banyaknya suplai ayam maka para peternak tak punya posisi tawar menentukan harga. Harga lebih banyak ditentukan oleh para broker-broker," katanya.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved