Opini

Kartini Juga Belajar Ngaji

Nama Kartini, mungkin sudah tidak asing lagi bagi kita. Raden adjeng Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah, pada tanggal 21 April 1879

zoom-inlihat foto Kartini Juga Belajar Ngaji
TRIBUNSUMSEL.COM
Icon Tribunsumsel.com

TRIBUNSUMSEL.COM - Tidak cuma belajar ngaji AlQuran yang dipelajari RA Kartini, pelajaran Agama Islam juga beliau pelajari. Kalau kita baca dalam buku “Habis Gelap terbitlah Terang” karya Armiyn Pane, hal ini tidak terungkap. Yang ada hanyalah kumpulan surat-surat Kartini dengan nyonya-nyonya Belanda, seperti Nyonya Abendanon, Nyonya Zeehandelaar dan lain-lain.

Membicarakan RA Kartini biasanya tepat pada tanggal 21 April, apabila lewat maka momentumnya seolah terasa hambar, berkurang. Saya tidak tahu apakah momennya sudah lewat atau kadaluarsa, yang jelas di bulan April hari Kartini! Karena ibu Kartini satu-satunya wanita Indonesia yang telah memperjuangkan harkat dan martabat kaum wanita Indonesia. Siapapun tidak akan membantah, karena itu memang fakta.

Kalau pada abad ke 18 M yang lalu RA Kartini telah mengangkat derajat kaum wanita Indonesia dari kerangkeng tirani dan feodalisme, maka beliau diberi gelar pahlawan wanita atau pejuang emansipasi kaum wanita, sehingga derajat kaum wanita sekarang ini sudah hampir sederajat dengan kaum lelaki. Akan tetapi, jauh sebelum itu lebih dari 13 abad sebelum RA Kartini lahir, di jazirah ‘Arab sana, Nabi Muhammad saw. telah terlebih dahulu mengangkat derajat kaum wanita dari alam kegelapan atau alam jahiliyah ke alam kebebasan yang terang benderang.

Pada zaman Jahiliyah kaum wanita sangat tidak ada harga sedikitpun, sehingga apabila seorang wanita hamil dan ketika akan melahirkan, sang suami enggan menyaksikan, dia malah pergi jauh dan berpesan kepada sang “dukun bayi”, apabila anaknya yang lahir wanita, harus segera dibunuh dan bila perlu di kuburkan hidup-hidup. Di zaman RA Kartini keadaannya tidaklah separah zaman Nabi.

Kaum wanita zaman Kartini dulu hanya tidak bebas untuk keluar rumah, tidak bisa menikmati pendidikan, tidak bisa bekerja sebagaimana kaum lelaki. Mereka tidak diperlakukan sebagaimana perlakuan kaum lelaki zaman Jahiliyah. Artinya nasib kaum wanita era Kartini masih lumayan jika dibandingkan dengan nasib kaum wanita zaman jahiliyah.

Belajar Ngaji
Di tengah-tengah kesibukannya RA Kartini dan adik-adiknya juga belajar ngaji Alquran. Gurunya adalah KH. Sholeh bin Oemar ( yang dikenal dengan Kiyai Sholeh Darat) penulis kitab “Faaitur rahman fit Tafsiiril Quran” (tarjamah al Qur’an ke bahasa Jawa). Yang jelas metodenya bukan seperti anak-anak di TK/TPA sekarang dengan metode “IQRO”-nya KH.As’ad Humam, Yogja atau metode “Al Barqi” dsb.

Mungkin metodenya waktu itu memakai metode “Sorogan” atau metode “Baghdadiyah” dan sangat mungkin guru ngajinya hanya dibayar dengan minyak lampu. Sesuai dengan zaman itu, belum ada listrik. Berbeda dengan zaman sekarang guru ngaji dibayar pakai uang.

Dan itu sah-sah saja, sebab guru-guru ngaji itu bukan malaikat, yang tak perlu makan minum.
Memang guru ngaji itu bukan malaikat, mereka adalah manusia biasa yang perlu makan minum, perlu bedak dan gincu. Kalau mereka berkendaran umum perlu ongkos, kalau mereka berkendaraan motor pribadi perlu minyaknya, dan mereka bisa mengajar itu karena sebelumnya belajar dahulu. Artinya semua itu perlu biaya. Bukan Cuma guru bahasa Inggeris, guru piano, guru matematik, IPA dan guru Tari serta guru Komputer yang sanggup kita bayar ratusan ribu. Tapi guru ngaji mestinya lebih penting lagi.

Tentu saja tidak cuma belajar ngaji AlQuran yang dipelajari RA Kartini, pelajaran Agama Islam juga beliau pelajari. Kalau kita baca dalam buku “Habis Gelap terbitlah Terang” karya Armiyn Pane, hal ini tidak terungkap. Yang ada hanyalah kumpulan surat-surat Kartini dengan nyonya-nyonya Belanda, seperti Nyonya Abendanon, Nyonya Zeehandelaar dan lain-lain.

Sekarang setelah Indonesia merdeka, derajat kaum wanita dan kaum lelaki sudah hampir setara, tetapi kadang kaum wanita melupakan jasa ibu Kartini yang telah memperjuangkan nasib bangsanya, kaum wanita Indonesia khususnya seakan lupa diri, lupa akan harkat dan martabatnya selaku kaum wanita yang mulia. Apalagi di era reformasi dan globalaisasi ini, peran kaum wanita sudah bisa melebihi kaum lelaki. Kita ketahui, meski tidak banyak, pernah ada wanita yang menjadi kepala negara, seperti Raja/ratu, Presiden, Perdana Menteri, dan jabatan lainnya.

Berbagai Cara
Ketika memasuki tahun 2014, ada perubahan yang signifikan dalam dunia pendidikan kita, paling tidak untuk kota Palembang. Anak-anak tingkat SD-SMA Negeri/Swasta, diharuskan membaca Al Qur’an pada jam ke-Nol sebelum mereka belajar di kelasnya masing-masing. Mereka dipandu oleh seorang guru. Mudah-mudahan upaya ini akan membuahkan hasil positif di kemudian hari. Menambah kecintaan mereka kepada Allah Swt dan AlQuran, sering membaca ayat-ayat-Nya dimana saja berada dan kapan saja.

Selaku muslim dan mukmin atau ummat Nabi Muhammad Saw, tentu saja kita wajib bisa membaca quran. Upaya yang dilakukan berbagai pihak agar semua anak Indonesia dan semua orang yang Islam di Indonesia, bisa membaca quran patut kita dukung. Sejak zaman penjajahan metode belajar membaca quran sudah dimulai dari pondok pesantren, dan terus berkembang dari waktu ke waktu diteruskan oleh guru ngaji dirumah-rumah, di sekolah atau di madrasah.

Mungkin yang mula pertama Metode Baghdadiyah, sekarang ada metode metode Hamzaiyyah, Al Barqi, dan metode Iqro. Metode Iqro’ misalnya, tidak hanya pantas dipelajari oleh anak-anak BALITA, tetapi MANULA pun boleh menggunakan metode Iqro’ itu dengan tidak usah malu-malu. Contohnya ada BKB (Bina Keluarga BALITA) Iqro sampai ke pelosok tanah air.

Al Quran adalah bagian dari rukun Iman, satu-satunya rukun Iman yang bisa terlihat sampai kiamat. Bisa dipegang, bisa dipeluk dan dicium bisa dibawa kemana-mana. Maka sangat ganjil dan aneh bila orang Islam dewasa masih tidak bisa membaca Al Quran. Apalagi guru di sekolah-sekolah yang berbasis Islam, madrasah. Kadang ada guru yang beralasan bukan guru “agama”, melainkan guru fisika, matematika, bahasa Inggris, Olahraga atau guru Seni Budaya dan lain-lain, tetapi agamanya Islam toh? Apakah selain guru “Agama” tidak boleh membaca dan mempelajari Al quran ?

Tidak ada yang melarang orang Islam agar bisa membaca Quran, begitu juga terhadap guru-guru yang beragama Islam. Ketika salah satu lembaga yang berlabel Islam di kota ini akan mengadakan “test” terhadap guru-guru yang mengajar di sekolah-sekolah yang ada di bawahnya. Terjadi kegelisahan diantara guru-guru itu, mereka berupaya dengan berbagai cara untuk mengetahui siapa yang akan mengujinya nanti. Setelah tahu siapa yang akan mengujinya itu, mereka ada yang menelpon “sang penguji”, mohon agar dia diuji dengan yang mudah-mudah saja.

Halaman
12
Tags
Opini
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved