Peluang Usaha
Meraup Omzet Lezat di Bubur Organik Bayi
Kedua ibu ini mengawali kiprah bisnisnya dengan menjajakan bubur biasa, alias belum organik.
Titip wadah
Strategi berbeda ditempuh Dias untuk memasarkan bubur buatannya. Saat awal berbisnis, Dias menggunakan kartu antrean bagi calon pembeli yang datang langsung mengambil bubur buatannya di rumahnya, daerah Kayumanis, Jakarta Timur. Setelah usahanya berkembang, Dias memiliki 22 dapur yang tersebar di Jabodetabek. Sistem penjualan tidak lagi memakai kartu antrean, melainkan para pelanggan menitipkan wadah bubur masing-masing setiap hari. Saat dapur buka, pembeli tinggal mengambil. Tak heran, waktu berjualan bubur organik Dias terbilang singkat, berkisar 1,5 jam–2 jam. “Pelanggan bubur organik ini sudah rutin,” tutur Dias.
Ia berkerjasama dengan pihak ketiga, yang disebut mitra penjual, untuk memasarkan produknya. Namun kendati bernama mitra, mereka tetap membeli putus dari Dias. Keuntungan yang dinikmati mitra penjual bubur Brainy berkisar Rp 1.000 untuk bubur dan nasi tim dan Rp 250 untuk puding dan sari buah. Satu porsi bubur organik Brainy dijual seharga Rp 3.000, nasi tim seharga Rp 7.000, puding dan sari buah seharga Rp 2.000.
Menurut Dias, satu kilogram beras organik bisa dibuat menjadi 40 porsi bubur. Setiap dapur milik Dias mampu memasak sebanyak 450 hingga 500 porsi per hari. Dengan jumlah 22 dapur, maka setiap hari ada 9.900 porsi bubur Brainy terjual. Artinya dalam sebulan ada 297.000 porsi bubur Brainy terjual. Itu berarti, omzet bubur Brainy Rp 594 juta per bulan.
Perkembangan bisnis bubur Brainy kini berada di tangan Dias dan kedua putranya. Menantu Dias yang seorang dokter juga turut ambil bagian.
Baik Bebi Luck maupun Brainy tidak sekadar mengklaim sebagai bubur organik. Keduanya sudah menguji produknya ke laboratorium, sehingga konsumen yakin akan kualitasnya. Dias, misalnya, telah mendapat izin Nomor 31 Tahun 2007 dari Suku Dinas Kesehatan Masyarakat Jakarta Timur.
Prospek bisnis bubur organik untuk bayi, menurut Dias dan Nadya, cerah. “Kesadaran masyarakat terhadap gizi sudah tinggi, cuma masih banyak yang malas repot,” ujar Dias.