Mutilasi Ogan Ilir

Tak Punya Ongkos ke Palembang, Mardiah Sulit Urus Jenazah Karoman

Keluarga korban mutilasi di Sungai Pinang, Ogan Ilir, hingga kini tak kunjung mengurus kepulangan jenazah Karoman di Rumah Sakit Bhayangkara Polda

Penulis: Agung Dwipayana | Editor: Prawira Maulana
AGUNG DWIPAYANA/TRIBUNSUMSEL.COM
Mardiah istri Karoman. 

TRIBUNSUMSEL.COM, OGAN ILIR - Keluarga korban mutilasi di Sungai Pinang, Ogan Ilir, hingga kini tak kunjung mengurus kepulangan jenazah Karoman di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Sumsel, Palembang.

Padahal jenazah telah selesai diautopsi.

Tim forensik kini sedang menunggu kedatangan keluarga korban untuk dilakukan tes DNA dan menentukan identitas jenazah secara ilmiah.

"Kami tidak punya uang untuk jemput jenazah suami. Kami juga sedang menunggu informasi dari (pihak rumah sakit di) Palembang," ujar Mardiah kepada TribunSumsel.com yang menyambangi kediamannya di Desa Pinang Mas, Kecamatan Sungai Pinang, Kabupaten Ogan Ilir (OI), Rabu (12/6/2019).

Menurut Mardiah, sejak kepergian suami, ia tidak tahu harus berbuat apa untuk menghidupi kelima anak yang masih kecil-kecil

"Kalau ada bapaknya masih hidup, bisa usaha cari uang Rp 50 ribu sehari. Kalau sekarang mau bagaimana?" ucapnya.

Mardiah dan kelima anaknya tinggal di sebuah rumah panggung sederhana nonpermanen di Desa Pinang Mas.

Rumah yang sebagian besar materialnya terbuat dari kayu tersebut berukuran 4x6 meter.

Di rumah itulah Mardiah melakukan segala aktivitas sehari-hari, seperti memasak, mencuci, mandi.

Bahkan tempat tidur Mardiah beserta kelima anak dan almarhum suaminya berdekatan dengan dapur dan toilet.

"Di sinilah tempat tidur kami, tanpa kasur, bantal, selimut. Tidur di lantai saja," ujar Mardiah sambil menunjuk tempat tidur berupa lantai papan yang hanya beralaskan karpet karet berukuran 2 meter persegi.

Dapur di rumah Mardiah pun bisa dibilang sangat sederhana. Satu-satunya peralatan memasak yang paling "mewah" ialah kompor gas.

Pun dengan toilet yang jauh dari kata layak. Untuk memenuhi kebutuhan mandi cuci kakus (MCK), Mardiah biasanya mengambil air dari sungai desa setempat.

"Kami ini hidup miskin. Tapi kenapa ada orang tega membunuh tulanv punggung keluarga kami," kata wanita 35 tahun itu sambil berurai air mata.

Di bawah rumah panggung, keluarga Mardiah memelihara hewan ternak bebek dan kambing.

Jika sudah besar, hewan ternak itu dijual untuk menambah penghasilan keluarga tersebut.

"Pernah suami saya berniat jual bebek untuk beli handphone untuk anak saya. Begitu sayangnya suami kepada keluarga walaupun kami tidak mampu. Tapi tidak kesampaian keinginan itu," ucapnya sambil terus berurai air mata.

Kondisi rumah almarhum Karoman.
Kondisi rumah almarhum Karoman. (AGUNG DWIPAYANA/TRIBUNSUMSEL.COM)
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved