Liputan Investigasi
Investigasi Perdagangan Gelap Formalin di Palembang, Pengawet Makanan dari Pembersih Kandang Ayam
Dari sejumlah dokumen dan penelusuran di lapangan, larutan itu merembes dari salah satu perusahaan peternakan
PALEMBANG, TRIBUN - Pengawet makanan sudah jadi bahaya laten di Sumatera Selatan. Sejumlah temuan menunjukkan banyak industri pengolahan makanan memakai larutan kimia tersebut.
Dari sejumlah dokumen dan penelusuran di lapangan, larutan itu merembes dari salah satu perusahaan peternakan, PT Agrinusa Jaya Santosa, lini usaha Japfa. Liputan ini merupakan kolaborasi antara Tribun Sumsel dan Majalah Tempo dalam program IBT 2019.
Sebagai dokter hewan dan kepala cabang perusahaan peternakan, Ardi Sumbogo punya akun resmi untuk membeli formalin. Termasuk di PT Agrinusa Jaya Santosa (AJS) kantor cabang Palembang, Sumatera Selatan. Ardi biasanya membeli larutan formalin untuk memenuhi kebutuhan perusahaan akan disinfektan. Larutan yang mengandung formaldehid kadar 37 persen itu jadi primadona peternakan ayam karena ampuh menumpas bakteri di sekitar kandang.
Pada akhir 2017, kepala cabang Malindo Breeding Palembang itu menemukan keganjilan. Namanya tercatat pernah membeli formalin ke AJS pada Juli 2017. AJS adalah cucu usaha PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA), salah satu distributor barang berhaya (B2) di Sumaetera Selatan. Padahal dia tidak pernah memesan barang tersebut.
Ardi melaporkan keganjilan itu kepada Asosiasi Obat Hewan Indonesia (ASOHI) Cabang Sumatera Selatan pada Agustus 2017. Ardi dan pengurus ASOHI Cabang Sumatera Selatan terlibat diskusi panjang saat itu. Salah seorang peserta diskusi merekam pembicaraan. “Hati-hati Pak Ardi. Tutup saja akun bapak. Nanti bahaya, Anda diusut,” kata salah seorang peserta rapat. Saat itu kepolisian setempat dan Balai Besar Badan Pengawas Obat dan Makanan Palembang sedang gencar melacak formalin yang merembes sebagai pengawet makanan.
Setelah pertemuan, ASOHI Cabang Sumatera Selatan menerbitkan himbauan pada 21 Agustus 2017. Asosiasi meminta penanggung jawab perusahaan obat hewan di Sumatera Selatan mengawasi penjualan formalin mereka. “Kasus Pak Ardi itu terjadi di pengurusan yang lama,” kata Ketua Asosiasi Obat Hewan Indonesia (Asohi) Sumsel Muhammad Zuhri, awal November 2018.
• INVESTIGASI: Marak Infus Pemutih Online di Dalam Mobil, Penjual Jasa Mengaku Paramedis
• Cukong Kaya Raya Pekerja Bertaruh Nyawa, Investigasi Tambang Batubara Rakyat
ASOHI Sumatera Selatan tak punya data pasti berapa kebutuhan disinfektan formalin dari peternakan. Dilihat dari jumlah produksi ayam broiler tiap bulannya, kebutuhan maksimal formalin hanya 6.000 liter per bulan. “Itu dengan asumsi semua kandang peternakan menggunakan formalin sebagai disinfektan. Tanpa produk lain,” kata Muhammad Zuhri.
AJS saban bulan menjual rata-rata 5.000 liter formalin. Angka itu belum termasuk dari PT Indovetraco Makmur Abadi (IMA), perusahaan yang terafiliasi dengan PT Charoend Pokphand Indonesia Tbk (CPNI), yang juga mengantong izin sebagai distributor formalin. Besarnya peredaran formalin ketimbang kebutuhan ditengarai merembes menjadi bahan pengawet makanan. Keluhan dokter Ardi dan himbauan ASOHI menguatkan indikasi tersebut.
Apalagi saban tahun Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BBPOM) Palembang menemukan banyak penganan mengandung formalin. Pada 2015, misalnya, BBPOM Palembang menguji 327 sampel makanan dari sejumlah pasar selama bulan puasa. Hasilnya sebanyak 88 sampel mengandung bahan berbahaya. Dari 88 sampel itu, 90 persen mengandung formalin. Padahal, dalam jangka panjang, konsumsi makanan berformalin menyebabkan gangguan pencernaan hingga kanker.
Sepanjang tahun lalu, BBPOM sudah mengungkap lima kasus penggunaan formalin pada makanan. Menurut Kepala BBPOM Palembang, Hardiningsih, lima kasus pabrik tahu yang menggunakan formalin itu sudah diproses. “Satu sudah diputus pengadilan. Dua lainnya di kejaksaan, dan tiga kasus sudah selesai penyidikan,” katanya, akhir Desember lalu.
Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Sumatera Selatan (Disperindagkop), Yustianus sudah tebal kuping dengan banyaknya pengrajin tahu menggunakan formalin. Para pengrajin disebut-sebut mendapat pasokan formalin dari industri peternakan. “Kami dapat cerita bahwa formalin dibeli dari kandang ayam,” katanya, akhir Desember lalu.
DARI laporan dokter Ardi dan himbauan ASOHI, kami menelusuri lika-liku formalin yang merembes sebagai pengawet makanan. Seorang pegawai AJS Cabang Palembang mengatakan, formalin curah dengan kadar formaldehid 37 pesen milik perusahaannya memang kerap diselewengkan.
AJS menjual formalin disinfektan Rp 14.090 per liter. Para agen menjualnya kepada konsumen bahan pengawet seharga Rp 25 ribu per liter. Menurut sumber internal tadi, mencatut nama pembeli terdaftar yang punya akun di perusahaan, seperti yang menimpa dokter Ardi, adalah salah satu modusnya. Pembelian model ini juga biasanya secara tunai. Pembeli juga cukup meneken surat pernyataan bermeterai bahwa formalin akan digunakan untuk peternakan, yang menurut sumber ini, gampang dipalsukan. “Manajemen sudah tahu lama tapi dibiarkan,” kata dia.
Data penjualan formalin AJS merekam jejak pencatutan nama dokter Ardi. Pada 11 Juli 2017, dokter Ardi tercatat memesan formalin sebanyak satu drum kapasitas 200 liter. Harganya Rp 2,4 juta atau Rp 12.1200 per liter karena pembelian dalam jumlah besar. Ardi kaget ketika disodori temuan itu, Oktober tahun lalu. “Saya nggak pernah jual-beli formalin yang dimaksud. Saya tidak pernah lihat barangnya seperti apa, 200 liter itu banyak sekali.”
Kepala Cabang PT AJS Palembang, Agus Supriyadi, mengakui adanya pencatutan nama Ardi dalam pemesanan formalin di perusahaanya. Namun, menurut Agus, pencatutan nama Ardi terjadi pada Juli 2018, bukan Juli 2017. “Kalau yang Juli 2017 saya tidak tahu,” kata Agus, Jumat pekan lalu di kantor Japfa, Jakarta.