Kepsek Di Luwu Dipecat Jelang Pensiun

Sosok Nurhasan, Eks Kepala SMPN 1 Ponrang Luwu Dipecat Gegara Seragam Sekolah, Kini jadi Petani

Nurhasan kini jadi petani usai dipecat dari SMPN 1 Ponrang Luwu gegara perkara baju seragam sekolah.

Editor: Weni Wahyuny
Muh Sauki/Tribun Timur
KEPSEK DIPECAT - Nurhasan (62) saat ditemui di rumahnya di Desa To'bia, Kecamatan Ponrang Selatan, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Nurhasan yang merupakan mantan kepala SMPN 1 Luwu ini mengaku kena pecat setahun jelang pensiun karena perkara baju seragam sekolah. Kini ia menjadi seorang petani. 
Ringkasan Berita:
  • Usia Nurhasan eks kepala SMPN 1 Ponrang Luwu kini menginjak 62 tahun
  • Usai keluar dari penjara dan kena pecat, Nurhasan bekerja sebagai petani
  • Nurhasan kena PTDH karena perkara baju seragam sekolah

TRIBUNSUMSEL.COM, LUWU – Mengenal sosok Nurhasan, mantan kepala SMP Negeri 1 Ponrang, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, yang meminta keadilan ke Presiden RI Prabowo Subianto terkait pemecatan dirinya setahun jelang pensiun.

Tak hanya kena Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH), Nurhasan bahkan sempat merasakan dinginnya jeruji besi perkara baju seragam di sekolah yang pernah ia pimpin.

Nurhasan kini berusia 62 tahun.

Dipecat dari Aparatur Sipil Negara (ASN), ia kembali berladang seperti masa mudanya, meski tubuhnya tak lagi sekuat dulu. 

“Tenaga sudah tidak ada lagi seperti waktu muda. Jadi saya hanya pasrah,” katanya, Senin (24/11/2025). 

Masa tuanya yang harusnya tinggal menikmati uang pensiun, kini harus terkubur.

Setelah keluar dari penjara, Nurhasan harus menerima kenyataan pahit: ia dipecat sebagai ASN. 

“Saya tinggal punya sisa satu tahun lagi mengabdi seandainya tidak dipecat,” ucapnya. 

Nurhasan mengaku tidak menerima uang pensiun sepeser pun akibat PTDH tersebut. 

Ia yang sejak 1998 mengabdi sebagai guru tak pernah membayangkan masa tugasnya berakhir dengan PTDH.

Baca juga: Duduk Perkara Nurhasan Eks Kepala SMPN 1 Ponrang Luwu Dipecat Jelang Pensiun Gegara Seragam Sekolah

Duduk Perkara

Kisah itu bermula pada 2018. 

Ketika itu, Nurhasan berada di Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Luwu mengikuti rapat terkait rehabilitasi delapan ruang kelas di sekolahnya. 

Di tengah rapat, sebuah telepon dari nomor tak dikenal masuk. 

Ia diminta segera kembali ke sekolah. 

“Saya kira hanya ada anak-anak berkelahi di sekolah, karena di sana memang rawan perkelahian,” kenang Nurhasan.

Namun begitu tiba, suasana sekolah mencekam. 

Polisi sudah melakukan penggerebekan. 

“Uang yang disita itu Rp 91 juta. Katanya ada operasi tangkap tangan atau OTT. Padahal, saya tidak ada di sekolah, saya ada di Dinas,” katanya. 

Uang itu merupakan pembayaran pakaian sekolah—baju batik, baju olahraga, atribut, hingga iuran koperasi. 

Seluruh pembayaran disebutnya telah disepakati orangtua melalui komite sekolah. 

“Saya hanya memfasilitasi tempat rapat. Semua keputusan ada pada komite,” ujarnya. 

Namun, proses hukum berjalan cepat. 

Nurhasan divonis bersalah dan dipenjara dua tahun. 

Vonis pengadilan pada 2020 dan keputusan PTDH dari Pemerintah Kabupaten Luwu membuatnya kehilangan jabatan, penghasilan, dan nama baik yang ia bangun selama 22 tahun mengajar.

Ia mempertanyakan mengapa kasus itu diproses pidana. 

Padahal, menurutnya, pengadaan pakaian sekolah adalah praktik lazim yang disetujui orangtua. 

“Kenapa hanya saya? Kalau di sekolah lain malah sampai Rp 500.000 satu pasang baju. Ini saya Rp 300.000 untuk dua pasang baju, tambah atribut dan koperasi. Di mana kerugian negara? Uang itu kesepakatan orangtua dan komite, bukan anggaran negara,” ujarnya. 

Baca juga: Kisah Nurhasan Eks Kepala SMPN 1 Ponrang Luwu Dipecat Setahun Jelang Pensiun Gegara Seragam Sekolah

Asa Didengar Prabowo

Belakangan, Nurhasan membaca kabar bahwa dua guru di Luwu Utara mendapat rehabilitasi dari Presiden Prabowo Subianto setelah dipidana karena pungutan dana komite. 

Kisah itu membangkitkan asa dalam dirinya. 

“Saya memohon kepada Bapak Presiden, semoga kasus saya disamakan dengan dua guru di Luwu Utara itu,” ujarnya. 

3 Permohonan ke Prabowo

Ada tiga hal yang ia harapkan. 

Pertama, rehabilitasi dan pemulihan nama baik. 

Kedua, pengembalian hak pensiun. 

Ketiga, pemulihan statusnya sebagai guru. 

“Itu saja yang saya mohonkan kepada beliau. Semoga panjang umur dan sehat,” ungkap Nurhasan

Selama puluhan tahun mengajar, ia pernah menjadi Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) dan Ketua PGRI Kabupaten Luwu selama beberapa periode. 

“Saya kira semua amanah itu saya jalankan dengan kerja sama teman-teman. Tidak ada yang saya curangi,” katanya. 

Kini, di teras rumahnya, Nurhasan menjalani hari-hari sebagai petani sambil merawat sisa-sisa harapan. 

Ia tak menuntut jabatannya kembali. 

Ia hanya ingin nama baik dipulihkan dan hak pensiun dikembalikan sebagai penghargaan atas dua dekade pengabdian. 

“Ini hanya persoalan harga baju. Bukan kerugian negara. Saya hanya ingin keadilan,” katanya lirih.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com

Baca berita lainnya di Google News

Bergabung dan baca berita menarik lainnya di saluran WhatsApp Tribunsumsel.com

Sumber: Kompas
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved