Kasus Korupsi Adik Jusuf Kalla
Sosok Halim Kalla Adik Jusuf Kalla Jadi Tersangka Korupsi PLTU 1 Kalbar Rugikan Negara Rp1,35 T
Hakim Kalla, adik Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla, ditetapkan tersangka kasus korupsi Proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU)
Penulis: Aggi Suzatri | Editor: Weni Wahyuny
TRIBUNSUMSEL.COM - Hakim Kalla, adik Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla, ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi Proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat.
Dalam kasus proyek PLTU Kalbar triliunan yang mangkrak sejak 2016 itu, juga menyeret sejumlah nama besar, seperti mantan Direktur Utama PLN Fahmi Mochtar.
Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pun mencegah Halim Kalla bepergian ke luar negeri usai ditetapkan sebagai tersangka.
Baca juga: Korupsi Pasar Cinde Palembang Rugikan Negara Rp 137 M, Alex Noerdin & Harnojoyo Akan Segera Disidang
Profil Hakim Kalla
Dilansir dari Tribunnews.com, Halim Kalla, adik mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla ini, lahir di Ujung Pandang, Sulawesi Selatan, pada 1 Oktober 1957.
Tahun ini, ia memasuki usia 68 tahun.
Halim Kalla dikenal sebagai pebisnis yang piawai melihat peluang pasar.
Meskipun pernah dihajar badai krisis moneter 1998, bisnis yang dibangunnya tetap dapat bertahan.
Pada tahun 2006, pria asal Ujung Pandang, Sulawesi Selatan, itu menjadi pengusaha satu-satunya yang berani memperkenalkan Digital Cinema System (DCS) di Indonesia.
DCS itu menjadi revolusi teknologi dalam pembuatan, peredaran, dan penayangan film di bioskop.
Halim Kalla pernah mejabat sebagai anggota DPR RI tahun 2009.
Baca juga: Diduga Beli Rumah hingga Tas Mewah, Ini Sosok MY, Eks Staf Admin Bank di Cirebon Korupsi Rp24,6 M
Dikutip dari situs resmi KPU RI, Halim pernah menjabat sebagai Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan II periode 2009-2014:
Tempat/Tanggal Lahir : Ujung Pandang, 1 Oktober 1957
Alamat Tempat Tinggal : Jl. Lembang No. 9 RT/RW 006/005 Menteng Jakarta Pusat
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status Perkawinan : Kawin
Jumlah anak : dua orang
Pekerjaan : Direktur Utama Intim Wira Energi Wisma Nusantara Jakarta
Direktur PT BRN
Pendidikan Terakhir : State Univ. of New York at Buffalo, USA
Perolehan Suara : 34.755
Sementara itu, di antara karyanya yang sempat mengangkat derajat Indonesia adalah kendaraan listrik melalui Haka Auto, meski masih dalam bentuk prototipe.
Kendaraan listrik itu diberi nama Smuth, Erolis dan Trolis.
Smuth EV mengusung model pikap dengan motor listrik berdaya 7,5 kw.
Sementara, baterainya menggunakan lithium ion berkapasitas 15,4 kwh.
Erolis mengadopsi bentuk passenger car berukuran mini macam Wuling Air EV.
Erolis menggunakan motor listrik berdaya 4 kw, yang dipadukan dengan baterai lithium ion berkapasitas 7,6 kwh.
Adapun Trolis punya bentuk layaknya motor tiga roda.
Menggunakan motor listrik berdaya 5 kw, dengan baterai lithium ion berkapasitas 7,6 kwh.
Baca juga: Ini Tanggapan Jusuf Kalla Soal Kenaikan Tarif Impor Diterapkan Donald Trump Bakal Picu PHK Massal
Jadi Tersangka
Hakim kalla kini terseret kasus korupsi Proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) 1 Kalimantan Barat oleh Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) Polri.
Dalam kasus proyek PLTU Kalbar triliunan yang mangkrak sejak 2016 itu, juga menyeret sejumlah nama besar, seperti mantan Direktur Utama PLN Fahmi Mochtar.
Hal tersebut, dikonfirmasi Kakortas Tipidkor Polri Irjen Cahyono Wibowo dalam konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Senin (6/10/2025).
“Tersangka FM sebagai Direktur PLN saat itu, pihak swasta HK (Direktur PT BRN), RR (Dirut PT BRN), dan HYL (Dirut PT Praba),” ungkapnya, dilansir dari Kompas.com.
PLTU 1 Kalbar berkapasitas 2x50 megawatt di Kabupaten Mengkawah, Kalimantan Barat, diketahui dimulai pada 2008 dengan pendanaan dari kredit komersial Bank BRI dan BCA melalui skema Export Credit Agency (ECA).
Namun, proyek ini gagal dimanfaatkan sejak 2016 meski telah diaddendum sebanyak 10 kali hingga 2018.
“Proyek PLTU diduga melawan hukum penyalahgunaan wewenang sehingga pekerjaan mengalami kegagalan alias mangkrak sejak 2016,” kata Cahyono.
Addendum adalah tambahan klausul dalam kontrak yang dibuat secara terpisah namun tetap menjadi bagian sah dari perjanjian pokok.
Diduga Rugikan Negara Rp 1,35 Triliun
PLTU yang berlokasi di Desa Jungkat, Kecamatan Siantan, Kabupaten Mempawah itu, sejatinya menjadi bagian dari penguatan infrastruktur energi nasional.
Namun, proyek yang dimulai sejak 2008 justru mangkrak sejak 2016 dan dinyatakan “total loss” oleh BPK.
Ditaksir, kerugian negara akibat kasus dugaan korupsi proyek PLTU Kalbar ini, mencapai Rp 1 triliun.
“Kalau kursnya sekarang Rp16.600 per dolar AS, berarti kerugian negara kurang lebih Rp1,350 triliun,” jelas Cahyono.
Duduk Perkara Kasus: dari Lelang PLTU ke Dugaan Korupsi
Diberitakan sebelumnya, PLTU Kalbar-1 dilelang pada 2008 dengan pendanaan dari PT PLN (Persero), bersumber dari kredit komersial Bank BRI dan BCA melalui skema Export Credit Agency (ECA).
Selanjutnya, pemenang lelang ditetapkan sebagai konsorsium Kerja Sama Operasi (KSO) BRN, yang dipimpin Halim Kalla.
Tetapi, konsorsium dinilai tidak memenuhi sejumlah persyaratan prakualifikasi dan teknis.
Mereka tak memiliki pengalaman membangun pembangkit tenaga uap minimal 25 MW, tidak menyerahkan laporan keuangan audited tahun 2007, dan tidak menyampaikan dokumen SIUJKA.
“Penetapan pemenang lelang dilakukan meski konsorsium tidak memenuhi syarat teknis dan administratif. Ini menjadi titik awal rangkaian pelanggaran yang berujung pada kerugian negara,” kata Cahyono.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konsorsium adalah himpunan beberapa pengusaha yang mengadakan usaha bersama; kumpulan pedagang dan industriawan; perkongsian.
Adapun kontrak pekerjaan senilai USD 80 juta dan Rp507 miliar ditandatangani pada 11 Juni 2009 antara RR dan Fahmi Mochtar.
Seluruh pekerjaan kemudian dialihkan kepada pihak ketiga, yakni PT PI dan QJPSE, perusahaan energi asal Tiongkok.
“Seluruh pekerjaan dialihkan ke pihak ketiga tanpa dasar hukum yang jelas. Proyek mangkrak, tapi uang sudah mengalir,” tambah Cahyono.
Pembangunan PLTU gagal dimanfaatkan sejak 2016, meski kontrak telah direvisi sepuluh kali hingga 2018.
Menurut laporan investigatif BPK RI, proyek ini menimbulkan indikasi kerugian negara sebesar USD 62,410 juta dan Rp323,2 miliar.
Polri menyebut kasus ini sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran hukum dalam pengadaan barang dan jasa.
Dugaan Aliran Dana Suap
Kemudian, Polri mendalami dugaan aliran dana dari konsorsium BRN melalui PT PI kepada sejumlah pihak yang diduga menerima suap.
Cahyono menyebut, ada beberapa pihak yang menerima aliran uang.
"Untuk mendalami dan menyempurnakan kami perlu alat bukti tambahan," ucapnya.
Kasus ini, awalnya ditangani oleh Polda Kalimantan Barat sejak April 2021.
Kemudian, diambil alih oleh Bareskrim Polri pada November 2024 karena keterbatasan anggaran dan risiko kerawanan.
Hingga kini, belum ada penahanan terhadap para tersangka. Polri menyatakan masih berkoordinasi dengan jaksa penuntut umum untuk kelengkapan berkas perkara.
“Kami sudah lakukan pencegahan agar tidak melarikan diri,” tegas Cahyono.
Sampai berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak Halim Kalla maupun Fahmi Mochtar.
(*)
Baca berita Tribunsumsel.com lainnya di Google News
Ikuti dan Bergabung di Saluran Whatsapp Tribunsumsel.com
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.