Tak hanya dalam hal sosial, pembangunan pun mulai menunjukkan kemajuan. Salah satu simbol kebanggaan warga, Tugu Pacul, dibangun pada era 1980-an sebagai simbol kerja keras dan perjuangan petani.
Nama “Pacul” tak sekadar alat, tapi lambang semangat membangun dari nol.
Secara geografis, Karang Sari terletak di daratan rendah seluas 367,90 hektare, dengan aliran sungai yang mendukung pertanian.
Dari total penduduk sebanyak 2.587 jiwa (788 KK), sebanyak 34,33 persen bekerja sebagai petani dan 32,8 persen sebagai buruh tani. Selebihnya adalah pengusaha, perangkat desa, guru, dan lainnya.
Sebanyak 245 Ha digunakan untuk pemukiman, 285 Ha untuk sawah, dan sisanya berupa fasilitas umum serta jalan desa sepanjang 18,7 km.
Meski kepadatan penduduk hanya 0,20 per km persegi, Karang Sari terus tumbuh. Kepala Desa Zaidun, S.E., tak tinggal diam.
Ia aktif menjalin komunikasi dan pendekatan kepada DPRD hingga DPR RI, agar program pembangunan menyentuh Karang Sari yang sebelumnya minim infrastruktur.
Dengan tanah yang dulu keras kini menjadi lahan subur, dan penduduk yang dulu bertahan hidup kini mulai berkembang, Desa Karang Sari adalah contoh nyata bagaimana tekad dan kerja keras bisa mengubah sejarah.
Tak berlebihan bila warga berharap, Karang Sari mendapat perhatian lebih dari pemerintah pusat maupun provinsi.
Karena dari desa seperti inilah Indonesia tumbuh dari peluh, dari pacul, dari tanah yang diolah dengan cinta.
Karang Sari adalah potret desa yang tumbuh dari keteguhan para transmigran.
Dari pacul pertama yang mencangkul semak, hingga kini menjadi desa mandiri yang terus bergerak, desa ini adalah cerita nyata tentang perjuangan, persatuan, dan harapan masa depan.
Baca artikel menarik lainnya di Google News
Ikuti dan bergabung di saluran WhatsApp Tribunsumsel