Sehingga perangpun tetap membawa kemaslahatan bagi rakyat. Hal ini seperti yang dicontohkan oleh Sayyidina Umar ra ketika menaklukan Yerusalem (Baitul Maqdis), dengan tetap memberikan kebebasan bagi umat non-Muslim untuk beribadah dan berinteraksi sosial.
Akan tetapi, perjalanan panjang manusia, menjadikan manusia lupa dengan subtansi dari suatu ajaran agama, sehingga mereka tidak bisa meniru Nabinya dan tidak bisa menafsirkan ajaran agama yang penuh kasih sayang.
Sehingga ketika kita membaca buku sejarah, kita akan menjumpai ada saja beberapa kasus perang atas nama agama, seperti perang salib, dan kolonialisme barat atas dunia Muslim abad 18 dan 19 dengan semboyan Gospel-nya yang tidak terlepas dari kekerasan juga.
Agama tidak pernah salah, namun pemeluknyalah yang kadang penuh ambisi mengatasnamakan agama untuk kepentinganya.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Dengan munculnya kelompok yang menggaungkan ukhuwah insaniyah (persaudaraan sesama manusia) sesungguhnya bisa menjadi faktor penyeimbang terhadap doktrin kekerasan atas nama perbedaan. Dan sebenarnya dalam setiap agama terdapat individu-individu yang memiliki komitmen membangun kebersamaan dan perdamaian. Ini merupakan gerakan baik yang ingin selalu menampilkan ajaran agama yang sesuai dengan ajaran Rasulullah saw.
Kekerasan atas nama agama, baik umat Islam maupun non-Muslim sesungguhnya bisa diminimalisir ketika memiliki komitmen untuk mempelajari ilmu agama yang lebih mendalam.
Mempelajari bagaimana perbedaan selalu ada di setiap zaman, seperti perbedaan sesama sahabat, tabiin dan ulama-ulama salaf lainnya.
Pendapat Imam Syafii berbeda dengan pendapat muridnya Imam Ahmad bin Hanbal. Imam Syafii juga memiliki pendapat yang berbeda dengan gurunya Imam Malik. Hal ini sangat wajar, dan tidak sampai menjadikan keduanya bermusuhan, apa lagi sampai menimbulkan kekerasan.
Hadirin Rahimakumullah
Untuk mencegah kekerasan, salah satunya yakni dengan berkata yang baik kepada siapapun, karena ucapan yang buruk bisa menjadi kekerasan verbal. Juga banyak kasus kekerasan fisik salah satunya berasal dari lisan (mulut).
Ada istilah mulutmu harimaumu. Ucapan juga menjadi doa bagi yang berucap. Jika dikatakan baik maka menjadi baik, dan jika dikatakan buruk maka menjadi buruk.
Rasulullah saw bersabda bahwa “Salamatul Insan fi hifdzil lisan”, yang artinya selamatnya diri ketika menjaga lisannya. Hal tersebut termaktub di dalam Al-Qur’an surat An-nisa ayat 148 yang berbunyi:
لَا يُحِبُّ اللّٰهُ الۡجَــهۡرَ بِالسُّوۡٓءِ مِنَ الۡقَوۡلِ اِلَّا مَنۡ ظُلِمَؕ وَكَانَ اللّٰهُ سَمِيۡعًا عَلِيۡماً
Artinya: Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (An-Nisa: 148).
Hal serupa juga yang disabdakan oleh Nabi saw di dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو – رضى الله عنهما – عَنِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ الْمُسْلِمُ مَنْ سَلَمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مِنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ. رواه البخاري
Artinya: Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr berkata: Nabi bersabda: “Seorang Muslim yang baik adalah orang Muslim yang lainnya selamat, terhindar dari kejahatan lisan dan tangannya. Orang yang hijrah yaitu orang yang menjauhi segala larangan-larangan Allah (HR Bukhari).
Imam al-Munawi dalam kitab Faidhul Qadir mengupas penjelasan hadis tersebut bahwa menyakiti seorang muslim sangat terlarang bahkan akan menjatuhkan harga diri Islam tersendiri.
Hadirin rahimakumullah
Oleh karena itu, bahwa orang yang suka menteror atau bahkan sampai melakukan kekerasan kepada orang lain merupakan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Nabi Muhammad saw, karena ajaran beliau sangat menghargai hak-hak kemanusiaan.