Melakukan Tirakat
Tirakat banyak dipraktikkan di pondok pesantren, tapi juga banyak dilakukan di luar pondok pesantren.
Seperti yang diungkapkan oleh kiai Abdullah Faqih Langitan, bahwa santri harus melaksanakan tirakat agar ilmu yang diterimanya akan menyinari dan bermanfaat bagi banyak orang.
Tidak hanya dalam pesantren, para ulama juga memulai setiap karya ilmiahnya dengan tirakat. Misalnya, Imam al-Bukhari ketika akan menulis satu hadis, beliau selalu melakukan shalat sunnah dua rakaat. Imam Nawawi, sebelum menulis karya monumentalnya, Majmu’ Syarh al-Muhaddzab, beliau selalu melakukan shalat istikharah.
Begitu juga Imam al-Muzani, yang selalu berpuasa tiga hari dan melakukan shalat tertentu sebelum menyusun kitab Al-Mukhtashar. Mereka selalu merasa tanggung jawab atas keilmuan yang mereka tulis, sehingga selalu memohon petunjuk dan perlindungan kepada Allah swt., demi menjaga keberlangsungan keilmuan tersebut.
Tidak sebatas itu, tirakat paling besar oleh sebagian ulama sufi adalah menahan diri dari maksiat, bukan hanya berupa puasa. Masih dari laman nu online, menurut Kiai Baha’uddin Nur Salim atau yang akrab disapa Gus Baha’, bagi santri, tirakat adalah tentang menjauhkan diri dari kemewahan, membatasi kebutuhan, dan selalu menjalankan kewajiban seperti sholat berjamaah, sebagai bentuk pengabdian yang sesungguhnya.
Di kalangan pesantren, tirakat merupakan warisan yang sangat berharga bagi para santri, pelajar agama yang tinggal dan belajar di pondok pesantren, yang digunakan sebagai sarana untuk mencapai berbagai tujuan. Contohnya, untuk memudahkan dalam menghafal, meningkatkan kecerdasan, menghadapi ujian, dan banyak lagi tujuan lainnya. Setiap santri memiliki kebutuhan dan tujuan yang berbeda-beda, sehingga tirakat yang dilakukan juga bervariasi sesuai dengan kebutuhan dan tujuannya.
Jenis Tirakat dan Manfaatnya
Ada beragam jenis tirakat yang dikenal di pesantren, seperti puasa Daud, puasa Senin-Kamis, mutih, ngrowot, ngebleng, dan lain sebagainya.
Tirakat ini biasanya juga disertai dengan pembacaan hizib, doa, ratib, istigasah, dan amalan-amalan khusus lainnya yang diperoleh melalui ijazah dari guru atau kiyai.
Cara menjalankan tirakat pun dapat berbeda-beda antara satu orang dengan yang lain, tergantung pada ijazah yang diberikan oleh guru.
Saat menjalani tirakat tertentu, seorang santri memiliki keyakinan bahwa hal tersebut dapat meningkatkan kualitas spiritualnya dan mendekatkannya dengan Allah swt, serta dapat mempercepat terkabulnya segala hajatnya jika dilakukan dengan benar dan penuh kesungguhan.
Bahkan, tidak sedikit orang yang diangkat derajatnya menjadi wali Allah karena tirakat yang mereka lakukan.
Contohnya adalah Raden Sahid yang menjalani tirakat menyepi (uzlah) di tepi sungai selama bertahun-tahun, dan akhirnya diangkat derajatnya oleh Allah swt dan diberi keistimewaan berupa karamah.
Itulah yang membuatnya dikenal dengan julukan “Sunan Kalijaga”.