"Ya boleh saja saya kampanye, tapi yang penting tidak gunakan fasilitas negara," tuturnya.
UU Pemilu membolehkan
Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur daftar pejabat negara yang tidak boleh dilibatkan sebagai pelaksana/tim kampanye pemilu.
Hal itu termuat dalam Pasal 280 ayat (2) dan (3). Dalam daftar itu, tidak ada presiden, menteri, maupun kepala daerah.
Pejabat-pejabat negara yang dilarang terlibat sebagai pelaksana/anggota tim kampanye itu meliputi:
Ketua, wakil ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung, dan hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi;
- Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
- gubernur, deputi gubernur senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia;
- direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan BUMN/BUMD
- pejabat negara bukan anggota partai politik yang menjabat sebagai pimpinan di lembaga nonstruktural;
- aparatur sipil negara (ASN);
- anggota TNI dan Polri
- kepala desa;
- perangkat desa;
- anggota badan permusyawaratan desa.
Sanksi
Pejabat negara pada huruf a sampai d yang terbukti terlibat sebagai pelaksana/anggota tim kampanye diancam pidana maksimum dua tahun penjara dan denda Rp 24 juta.
Sementara itu, pejabat negara pada huruf f sampai j diancam pidana maksimum satu tahun penjara dan denda Rp 12 juta. Kepala desa pun bisa dikenakan pidana yang sama bila melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu peserta pemilu.
Dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, kepala dan perangkat desa yang terlibat dalam kampanye juga dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan/tertulis.
Hal itu termuat dalam Pasal 29 dan 30 serta 51 dan 52 UU Desa.
Jika sanksi administratif itu tak dilaksanakan, maka mereka bisa diberhentikan sementara dan dilanjutkan dengan pemberhentian.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 dan Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Desa tidak mengatur ketentuan maupun sanksi untuk kepala daerah yang terlibat kampanye pemilu.
(*)