Mata Lokal Memilih

Reaksi Anies Baswedan Soal Pernyataan Jokowi Sebut Presiden Boleh Kampanye dan Memihak di Pilpres

Editor: Moch Krisna
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Joko Widodo dan Anies Baswedan. Foro diambil pada 22 Juli 2014.

TRIBUNSUMSEL.COM -- Pernyataan presiden Joko Widodo (Jokowi) soal kepala negara boleh kampanye dan memihak di pilpres turut ditanggapi Anies Baswedan selaku calon presiden (Capres) nomor urut 1.

Melansir dari Kompas.com, Rabu (24/1/2024) Anies Baswedan mengatakan pihaknya ingin menjaga negara sebagai negara hukum.

Dalam hal ini, semua yang menjalankan kewenangan merujuk pada aturan hukum bukan pada kesenangan atau selera masing-masing.

"Bernegara itu mengikuti aturan hukum. Jadi kita serahkan kepada aturan hukum. Ini kan bukan selera, saya setuju atau tidak setuju. Aturan hukumnya bagaimana karena kita ingin negara hukum," ujar Anies ditemui di Kompleks Kepatihan, Kota Yogyakarta.

Ia pun mempersilakan pakar-pakar hukum tata negara untuk menyampaikan gagasan terkait pernyataan Presiden Jokowi tersebut.

"Monggo para ahli hukum tata negara menyampaikan penjelasan apakah yang disampaikan bapak presiden sesuai dengan ketentuan hukum atau tidak," kata dia.

"Jadi kita rujuk kepada aturan hukum, selanjutnya biar masyarakat yang menilai," imbuh dia

. Menurutnya, para ahli hukum perlu menyampaikan pendapatnya agar masyarakat mengetahui bahwa aturan negara ini tidak berdasarkan kepentingan masing-masing.

"Aturan hukum kita bagaimana sih, kalau tidak nanti kita akan mengatakan itu benar atau salah berdasarkan pandangan subjektif masing-masing.

Kalau aturan hukum menyatakan tidak boleh berarti tidak boleh, kalau menyatakan boleh berarti boleh," ucapnya.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan tanggapannya saat ditanya keberpihakannya ke pasangan calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) tertentu dalam kontestasi Pilpres 2024 ini.

Namun, tanggapan yang diberikan Presiden adalah bertanya balik kepada wartawan.

"Itu yang mau saya tanya, memihak enggak?" ujar Jokowi sambil tertawa saat memberikan keterangan pers di Terminal Selatan Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (24/1/2024).

Lalu, wartawan juga bertanya apakah Kepala Negara akan berkampanye untuk pasangan capres-cawapres tertentu di pemilu ini.

Presiden Jokowi pun menyatakan boleh saja dia berkampanye asalkan tidak memakai fasilitas negara.

"Ya boleh saja saya kampanye, tapi yang penting tidak gunakan fasilitas negara," tuturnya.

UU Pemilu membolehkan

Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur daftar pejabat negara yang tidak boleh dilibatkan sebagai pelaksana/tim kampanye pemilu.

Hal itu termuat dalam Pasal 280 ayat (2) dan (3). Dalam daftar itu, tidak ada presiden, menteri, maupun kepala daerah.

Pejabat-pejabat negara yang dilarang terlibat sebagai pelaksana/anggota tim kampanye itu meliputi:

Ketua, wakil ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung, dan hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, dan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi;

  • Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
  • gubernur, deputi gubernur senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia;
  • direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan BUMN/BUMD
  • pejabat negara bukan anggota partai politik yang menjabat sebagai pimpinan di lembaga nonstruktural;
  • aparatur sipil negara (ASN);
  • anggota TNI dan Polri
  • kepala desa;
  • perangkat desa;
  • anggota badan permusyawaratan desa.

Sanksi

Pejabat negara pada huruf a sampai d yang terbukti terlibat sebagai pelaksana/anggota tim kampanye diancam pidana maksimum dua tahun penjara dan denda Rp 24 juta.

Sementara itu, pejabat negara pada huruf f sampai j diancam pidana maksimum satu tahun penjara dan denda Rp 12 juta. Kepala desa pun bisa dikenakan pidana yang sama bila melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu peserta pemilu.

Dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, kepala dan perangkat desa yang terlibat dalam kampanye juga dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan/tertulis.

Hal itu termuat dalam Pasal 29 dan 30 serta 51 dan 52 UU Desa.

Jika sanksi administratif itu tak dilaksanakan, maka mereka bisa diberhentikan sementara dan dilanjutkan dengan pemberhentian.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 dan Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Desa tidak mengatur ketentuan maupun sanksi untuk kepala daerah yang terlibat kampanye pemilu.

(*)

 

Berita Terkini