TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Backlog perumahan atau kesenjangan antara rumah yang dibangun dan rumah yang dibutuhkan masyarakat di Sumsel masih besar juga dipicu kenaikan harga rumah subsidi dari tahun ke tahun.
Pada 2007 harganya Rp 36 juta, terus naik sampai pada 2023 harganya Rp 162 juta, dan pada 2024 mendatang bakal naik lagi menjadi Rp 166 juta.
"Untuk penghitungan harganya dari kementerian. Namun biasanya komponen utamanya seperti kenaikan harga material, mengikuti inflasi dan nilai jual tanah di daerah tersebut, termasuk kenaikan UMR," ujar Kepala Bidang Perumahan Disperkim Provinsi Sumsel Ir H Yudho Joko Prasetyo ST MMT IPM.
Menurut Yudho, dengan kondisi ekonomi sekarang yang paling laku rumah subsidi. Maka developer membangun itu untuk mengurangi backlog.
Harga rumah setiap tahunnya beranjak naik, maka tak heran jika pada tahun 1995 harga rumah hanya Rp 4,9 juta. Jika dibandingkan sekarang rumah tersebut sudah dihargai Rp 135 juta hingga Rp 150 juta.
Baca juga: LIPSUS: Buy Now Or Never, Sumsel Kurang 345.985 Unit Rumah, Backlog Lebih Parah dari Jakarta -1
Jonson Eduar dan Ade Sarah merupakan pasangan suami istri yang membeli rumah pada tahun 1995 seharga Rp 4,9 juta tipe 27, di Jalan Sematang Borang, Komplek Griya Harapan C, Kota Palembang.
Karena tipe 27 dengan luasan 6x10 meter persegi maka rumah tersebut tidak memiliki kamar, hanya ada toilet. Rumahnya berbentuk L, bentuk tersebut masih dipertahankan hingga sekarang, hanya saja sudah direnovasi dan diperbaiki.
"Pada tahun 1995 kami membeli rumah seharga Rp 4,9 juta. Dengan cara dicicil selama 10 tahun," kata Ade Sarah saat diwawancarai secara langsung di kediamannya yang ada di Komplek Griya Harapan C, Jumat (18/8/2023).
Wanita yang sudah berusia 53 tahun ini menceritakan, dahulu uang mukanya Rp 900 ribu dan cicilannya Rp 51 ribu flat atau fixed rate selamat 10 tahun. Namun seiring berjalannya waktu karena ada rezki dilunasi setelah nyicil selama 7 tahun.
"Suami saya kerja sebagai karyawan swasta. Pada tahun 1995 gajinya hanya Rp 450 ribu, kalau sekarang gajinya sudah di angka Rp 10 jutaan," ungkapnya
Ibu dengan tiga orang anak ini menceritakan, karena memang sudah ditanamkan kalau sudah menikah, segera beli rumah.
Namun, bukanlah hal mudah untuk membeli rumah sendiri pada saat itu, karena suami kerjanya di luar kota dan jarang pulang.
"Jadi pernah juga merasakan kekurangan uang, dan Alhamdulillahnya karena masih ada orang tua jadi dibantu orang tua. Dahulu harga telur hanya Rp 1.500 per kg," kenangnya
Ade Sarah menceritakan, dahulu daerah di sini masih banyak hutan-hutan. Namun kini sudah berkembang dan sudah berdiri rumah-rumah warga, sudah padat penduduknya.
Untuk rumah asli tipe 27 dengan bentuk L dan dinding batako ini pun terpantau masih ada beberapa unit, ada juga yang hanya dicat atau dirawat saja. Selebihnya sudah banyak yang direnovasi.
"Saya menurunkan prinsip saya kepada anak saya. Jadi anak saya yang pertama juga sudah menikah dan sudah membeli rumah sendiri. Anak saya Rama Araska beli rumah harganya Rp 135 juta pada tahun 2019," katanya.
Sedangkan Rama Araska mengatakan, bahwa ia membeli rumah pada tahun 2019 seharga Rp 135 juta. Pada waktu itu Dp nya Rp 500 ribu dengan cicilan Rp 900 ribuan selama 15 tahun.
"Rumahnya tipe 27 dengan ukuran 14x7 meter persegi. Ada kamar tidur dan kamar mandi," kata Rama yang bekerja di Sucofindo.
Sementara Odi Aria, yang membeli rumah di Griya Gerbang Emas yang merupakan wilayah perbatasan antara Jakabaring dan Banyuasin mengatakan, untuk wilayah Jakabaring ini cukup berkembang.
"Untuk perumahan di sini rata-rata komersil dan sulit untuk mendapatkan rumah subsidi, karena memang wilayahnya yang sudah maju. Untuk itu saya dahulu di 2018 beli rumah di sini seharga Rp 250 juta," ungkapnya.
Ia membeli rumah tipe 36 seharga Rp 250 juta dengan cicilan Rp 2,4 juta selama 15 tahun dan itu bunganya tidak flat. Artinya mengikuti suku bunga berjalan dan sekarang cicilan perbulannya di angka Rp 2,8 juta.
"Untuk bisa memiliki rumah sendiri bukanlah hal mudah, terlebih tidak lama kemudian ada Covid-19. Jadi saat Covid-19 keuangan juga tidak stabil, sehingga saya sampai jual motor untuk menutupi cicilan," ungkapnya.
Kemudian dari segi fasilitas di perumahan, karena ini wilayahnya perbatasan susah masuk PDAM dan dan jalannya juga kurang bagus.
"Jadi kami pakai air dari sumur bor. Karena memang di sini tidak ada pipa induk. Kalau mau pasang booster membutuhkan biaya yang mahal, setidaknya butuh Rp 500 jutaan," ungkapnya
Meskipun begitu, ia bersyukur bisa membeli rumah di lokasi tersebut. Karena memang di wilayah Jakabaring dan sekitarnya harga rumah cukup tinggi, kalau dulu rata-rata di angka Rp 300 jutaan. Kalau sekarang bisa lebih dari itu. (tim)
Baca berita lainnya langsung dari google news