TRIBUNSUMSEL.COM, KAYUAGUNG -- Terkait keluhan puluhan masyarakat Desa Ulak Kedondong, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir yang mempertanyakan soal pembebasan lahan yang tidak dilakukan transparan.
Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, memanggil sejumlah pejabat terkait di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) OKI, Selasa (24/5/2022) sore.
Tidak hanya pejabat terkait, pihak PT. Samora Usaha Jaya (SUJ) selaku perusahaan perkebunan kelapa sawit juga diundang untuk Rapat Dengar Pendapat (RDP).
Saat membuka rapat, Ketua Komisi III DPRD OKI, Made Indrawan menyatakan dari kesimpulan yang diperoleh bahwa ganti rugi lahan masyarakat sebesar Rp 1.000.000 perhektar dirasa terlalu rendah (kecil).
"Menurut masyarakat harga ganti rugi yang pas itu sebesar Rp 11.000.000 perhektar. Tapi yang disepakati pada waktu itu sebesar Rp 1.000.000 perhektar," terangnya.
Masih kata Made, masyarakat juga mempertanyakan proses ganti rugi lahan yang dinilai tidak ada sosialisasi yang lebih luas dan hanya sebagian saja warga yang tahu adanya sosialisasi tersebut.
"Tadi juga disampaikan ada sebagian tanah masyarakat yang tidak diganti rugi berdasarkan alas hak yang dimiliki," ucapnya.
"Setelah ini nanti akan kita ambil kesimpulan untuk selanjutnya dilakukan rekomendasi yang akan dikeluarkan oleh lembaga DPRD OKI," imbuh Made.
Davidson SH, MH kuasa hukum masyarakat Desa Ulak Kedondong mengatakan permasalahan ini melibatkan masyarakat Desa Ulak Kedondong dan pihak PT Samora Usaha Jaya (SUJ) di tahun 2015 dan 2016 lalu.
"Jadi kami buka sekarang karena kita menyakini bahwa ada amanat undang-undang nomer 39 tahun 2013 yang tidak dijalankan oleh pihak perusahaan ataupun pemerintah desa pada saat itu,"
"Mulai dari pembebasan lahan yang tidak transparan baik dari pemerintah dan perusahaan menimbulkan indikasi adanya dugaan-dugaan. Kami meminta keterangan dari Rapat Dengar Pendapat (RDP) kali ini segamblang - gamblangnya sesuai aturan yang benar," sebutnya.
Dijelaskan terdapat beberapa tuntutan yang disampaikan yaitu tentang harga pembebasan lahan, lalu tentang adanya indikasi pemotongan 30 persen dipotong dari hak masyarakat yang tidak tertuang dalam peraturan perundang-undangan.
"Selain itu juga soal kejelasan plasma yang sudah berjalan sekitar 5 - 6 tahun. Sampai hari ini juga tidak ada kejelasan, padahal beberapa kali kita sampaikan kepada kepala desa definitif dan tokoh masyarakat. Makanya kita pertanyakan pada rapat RDP kali ini," kata dia.
Dirinya mengharapkan setelah pertemuan ini, agar para pejabat baik dari legislatif dan eksekutif dapat menyelesaikan permasalahan dan memperoleh hak-hak masyarakat.
"Tetapi apabila tidak ditemukan dalam waktu dekat, maka akan kita bawa kejalur hukum karena diduga ini terdapat tindak pidana penyalahgunaan jabatan. Dikarenakan total ada sekitar 2.300 hektar lebih lahan yang diduga hak masyarakat tidak terpenuhi," tegas Davidson.
Baca juga: Update Kasus ASN OKI Selingkuh, Pemkab Segera Gelar Sidang Kode Etik
Baca juga: Kuota Haji OKI 2022 Bertambah 15 Orang, Ini Jumlah Total yang akan Berangkat
Sementara itu, Sariadi mantan Kades Ulak Kedondong memaparkan status hutan yang ada di desa Ulak Kedondong yang sekarang dipermasalahkan.
Awalnya wilayah itu merupakan kawasan hutan produksi (HPK) dan pada tahun 2013 sudah dikeluarkan Surat Keterangan (SK) lahan dari kehutanan pusat diubah jadi hutan produktif.
"Kembali kepada proses pembebasan, pada tahun 2015 lalu ada sosialisasi dan telah memiliki ijin langsung dari pemkab OKI,"
"Disaat sosialisasi di balai Desa Ulak Kedondong sudah dijelaskan masalah teknis dan harga ganti rugi. Waktu itu ramai warga yang datang dan tidak ada yang menyanggah ataupun keberatan," ungkapnya.
Selanjutnya proses kedua untuk pengadaan pembebasan lahan. Dibentuklah tim yang terdiri dari 15 orang, 7 dari perangkat desa dan 8 dari tokoh masyarakat.
Dikarenakan tokoh masyarakat lebih tahu siapa saja yang memiliki hak alas dilahan. Bagi masyarakat yang memiliki hak milik juga segera mendaftarkan ke tim desa.
"Sehingga terjadilah pembebasan dan terjadilah kesepakatan dari pemilik dan tim desa. Selama proses pembebasan dari awal sampai selesai tidak ada protes masalah harga ataupun lainnya," ungkap mantan kades.
Namun menurutnya, barulah belakang ini setelah berjalan proses pembebasan semua lahan. Mulailah timbul sanggahan dan keberatan dari pemilik lahan.
"Padahal sewaktu pembebasan setiap orang memiliki bukti yang tertuang dalam surat perjanjian yang telah disepakati," tuturnya.
Dilokasi yang sama, I Wayan Merta Manager Lapangan PT. Samora Usaha Jaya (SUJ) mengatakan bahwa lahan produksi miliknya terbagi menjadi 30 persen sawit inti dan 70 persen plasma.
"Hingga tahun 2021 silam, kami sudah melakukan ganti rugi sebanyak 4.072 hektar di Desa Ulak Kedondong. Kalau keseluruhan lahan di Kecamatan Tulung Selapan dan Cengal ada 17.300 hektar yang sudah diganti rugi," ungkap Wayan.
Dirinya juga membeberkan kalau perusahaan melakukan kompensasi 1 juta perhektar bagi masyarakat yang memiliki tanaman kayu dan tanam tumbuh.
"Setiap masyarakat yang memiliki usaha ada inti dan usaha, dimana lahan inti akan kita bebaskan dan plasma tidak. Menurut saya semua kebijakan yang diambil sudah sesuai dengan kesepakatan sebelumnya," pungkasnya.