TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG-Pro dan kontra soal hasil rapid test rupanya bukan satu-satunya yang terjadi di masa pandemi.
Saat ini, publik pun dihadapkan pada masalah lain yaitu tarif rapid test mandiri di rumah sakit dan laboratorium klinik kesehatan yang tergolong tinggi.
Pemerintah kemudian pada 6 Juli lalu, melalui Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah mengeluarkan surat edaran pembatasan tarif tertinggi rapid test yakni Rp150 ribu.
Juru Bicara Penanganan Covid-19 Sumsel, Yuwono mengatakan ketimbang berkutat dengan tarif baru rapid test dia menyetujui jika rapid test ditiadakan saja.
"Saya setuju rapid test ditiadakan walaupun ada kepentingan klinis. Nanti rapid test itu akan berkaitan dengan perawatan pasien saja karena kalau orang umum tidak perlu, saya pikir," katanya pada Live Talk Sumsel Virtual Fest bertema Kepatuhan Rumah Sakit Terhadap Imbauan Kemenkes Terkait Biaya Rapid Test, Senin (13/7/2020).
Menurut Yuwono, sejak awal pandemi pihaknya telah menganjurkan agar rapid test tak perlu dilakukan jika hanya untuk mendeteksi dini antibodi seseorang kecuali rapid test untuk antigen.
Rapid test memiliki dua jenis yakni rapid test antigen dan antibodi.
Untuk antigen mengetes badan virus sementara rapid test antibodi untuk pemeriksaan respon tubuh terhadap virus.
Di sisi lain, tingkat akurasi rapid test untuk deteksi dini Covid-19 paling tinggi 60 persen atau jika dirata-ratakan hanya 20 persen.
"Namun yang beredar di Indonesia dari awal sampai hari ini adalah rapid test uji untuk antibodi. Dari awal diterapkan saya menjadi heran apalagi ketika ini menjadi syarat perjalanan. Bukan apa-apa ini kesannya malah jadi ribet bukan tujuannya," ujarnya lagi.
Jika pun harus tetap melakukan rapid test, bagi Yuwono, itu hanya untuk memaksimalkan untuk penentuan penyembuhan (recovery) orang yang positif.
Hal ini pun mengindikasikan jika rapid test untuk screening awal dinilai sebagai upaya buang-buang sumber daya karena sekarang pemeriksaan PCR sudah ada.
Yuwono mencontohkan, misalnya saja Rumah Sakit (RS) Pusri yang memberlakukan tindakan tegas untuk pasien masuk dengan langsung diberikan pe-skoran.
Jika kemungkinan ada Covid-19 maka langsung dilaksanakan tes usap yang hanya membutuhkan waktu satu hari.
"Tapi rapid ini jadi perlu untuk menentukan pasien recovery. Jadi, misalnya setelah 10 hari dirawat misalnya hasilnya meragukan antara positif negatif kemudian lihat rapid test kalau yang reaktif adalah antibodi maka orang ini pulang karena sudah imun," jelas Yuwono.
Pengamat Sosial dan Politik dari Universitas Sriwijaya, Andries Lionardo menilai kebijakan tarif baru rapid test menunjukan tidak ada sinkronisasi antara pemerintah pusat dan darah.