Kemudian termasuk personal yang diamanati tanggungjawab terhadap kondisi sekolah.
"Kalau waktu jam sekolah tidak bisa mengangkut, kalau pulang dari sekolah baru bisa. Kalau panggilan bisa kapan saja, kadang masih jam di sekolah ditelepon. Kalau seperti itu minta pengertiannya karena masih di sekolah," terang Candra.
Ia mengaku supaya tetap bisa penuhi panggilan angkutan sering tidak pulang ke rumah usai mengajar.
Maka dari sekolah langsung mengangkut jika yang minta ingin buru-buru atau yang diangkutnya banyak.
Dari kondisi itu pula sering sampai rumah saat Magrib untuk mengangkut seputaran Kecamatan Ulu Belu dan Pulau Panggung.
Hal terpenting tugas di sekolah terlaksana dan bisa melayani permintaan angkutan sampai selesai.
"Pengangkutannya dari kebun sampai lapak pengepul. Itu paling tidak satu kali angkut, sebab biasanya beberapa petani mengumpulkan di satu satu lokasi biar banyak, barulah diangkut pakai mobil saya," terang Candra.
Dari hasil pengangkutan, ia mengaku menerima kisaran Rp 100-200 ribu untuk sekali jalan, tergantung jarak.
Itu sudah termasuk bayar mobil, bahan bakar dan upah dirinya sebagai sopir.
Selama mengangkut hasil bumi, Candra mengaku sering berjumpa dengan murid-muridnya.
Itu tidak masalah baginya, bahkan mereka sering menyapa atau menghampiri untuk bersalaman.
Dan harapannya di hari guru tahun ini keberadaan guru tidak bisa dilepaskan dari lingkungan sosial.
Itu bisa meningkatkan kemampuan guru dalam mengajar.
Sebab guru bukan saja dituntut memberikan pelajaran saja, tapi juga jadi contoh ahlak dan sifat yang baik bagi murid-muridnya. (Tribunlampung.co.id/tri yulianto)
Artikel ini telah tayang di tribunlampung.co.id dengan judul Kisah Guru di Ulu Belu Tanggamus, Rela Gadaikan Gaji Demi Bantu Petani Angkut Hasil Bumi, https://lampung.tribunnews.com/2019/11/26/kisah-guru-di-ulu-belu-tanggamus-rela-gadaikan-gaji-demi-bantu-petani-angkut-hasil-bumi?page=all.
Penulis: Tri Yulianto
Editor: Reny Fitriani