Panglima TNI Sebut Jika Pilih Bayar Tebusan, Indonesia Bisa Dianggap Negara Lemah

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengunjungi Korem 043/Garuda Hitam, Lampung, Selasa (26/4/2016), dalam rangka memberikan pengarahan kepada para prajurit dan PNS.

TRIBUNSUMSEL.COM-Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo meminta pemerintah tidak memenuhi tebusan kelompok bersenjata Abu Sayyaf yang menyandera tujuh warga negara Indonesia di Filipina.

Menurutnya, jika pemerintah mengikuti keinginan penyandera dengan membayar uang tebusan, menunjukkan Indonesia sebagai negara lemah.

"Saya sangat menentang cara pembayaran tebusan karena cara itu menunjukkan Indonesia bangsa pengecut, seperti sapi perah. Kita jangan mau bayar," ujar Gatot saat ditemui usai rapat koordinasi pembebasan sandera di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Jumat malam (1/7/2016).

Menurut penuturannya, kelompok Abu Sayyaf meminta uang tebusan sebesar 200 juta Peso atau sekitar Rp 61-Rp 65 miliar. Uang sejumlah itu hanya untuk empat orang sandera. Tiga lainnya belum bisa dipastikan. Tujuh sandera itu ditempatkan terpisah. Satu kelompok empat orang, kelompok lain tiga orang.

Gatot menegaskan bahwa TNI sudah dalam posisi siaga jika sewaktu-waktu diperintahkan menggelar operasi militer untuk membebaskan semua sandera WNI di Filipina. TNI telah mempersiapkan segala kemungkinan dan berbagai opsi, baik melalui laut, udara, maupun darat.

"Namanya TNI didesain sedemikian rupa, kapanpun diperlukan, kami siap," kata Gatot.

Ditemui terpisah, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan opsi operasi militer masih dikesampingkan. Pemerintah, kata Luhut, mengandalkan upaya negosiasi dengan Pemerintah baru Filipina di bawah pimpinan Presiden Rodrigo Duterte.

"Kami masih melakukan perundingan opsi mana yang akan dilakukan. Tapi kalau opsi militer masih kami kesampingkan. Karena seperti yang lalu, tidak bisa Indonesia langsung masuk ke sana karena konstitusi Filipina tidak memperbolehkan," ungkap Luhut.

Sebelumnya, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu sudah menegaskan bahwa pemerintah tidak akan membayar uang tebusan yang diminta penyandera. (Baca: Menteri Pertahanan: Pemerintah Tak Akan Bayar Tebusan yang Diminta Penyandera)

Menurut Ryamizard, bukan hanya pemerintah Indonesia, kata Ryamizard, Pemerintah Filipina pun tak ingin memenuhi permintaan tebusan itu.

Peristiwa penyanderaan tujuh WNI terjadi pada Senin (20/6/2016) di perairan Filipina. Ketujuh orang itu merupakan anak buah kapal (ABK) tugboat Charles 001 pengangkut batu bara. Proses penyanderaan itu dilakukan dalam dua tahap.

Penyanderaan pertama dilakukan terhadap tiga ABK yaitu Kapten Fery Arifin (nahkoda), Muhammad Mahbrur Dahri (KKM) dan Edy Suryono (Masinis II).

Satu jam kemudian, terjadi penyanderaan kedua terhadap empat ABK lainnya oleh kelompok berbeda, yaitu Ismail (Mualim I), Robin Piter (Juru Mudi), Muhammad Nasir (Masinis III) dan Muhammad Sofyan (Oilman).

Berita Terkini